Perajin gerabah di Desa Mayong masih terus memproduksi, meski pasaran luar negeri mulai sepi sejaktiga tahun terakhir ini. Mereka mengandalkan penjualan gerabah di pasaran lokal di sekitar Jepara yang masih tergolong ramai.
Sugiyanto (52), perajin gerabah Desa Mayong Lor RT 2/ RW 3 menuturkan hampir semua warga di desanya adalah perajin gerabah dan genteng. Mereka menekuni pembuatan gerabah sudah berbagai generasi dan turun temurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kerajinan gerabah di desanya pernah mengalami kejayaan dengan banyaknya permintaan dari luar negeri. Tingginya ekspor dibarengi dengan kemajuan mebel ukir di Jepara.
Biasanya, permintaan ekspor datang dari Swiss, Belgia, dan Belanda. Gerabah yang diproduksinya dijadikan hiasan hotel dan restoran. Namun, setelah industri mebel melemah, kerajinan gerabah juga ikut melemah seiring menurunnya permintaan dari luar negeri.
"Kalau dulu banyak pengusaha dari luar negeri yang menjalankan usahanya di Jepara, tapi setelah tiga tahun terakhir sudah jarang lagi. Imbasnya permintaan gerabah juga turun, bahkan tidak ada," lanjutnya.
Untuk saat ini, banyak pengusaha asing yang mengambil produksi gerabah di wilayah Solo.
"Karena banyak yang berwisata ke Yogyakarta dan mampirnya ke Solo," papar dia.
Melemahnya pasar ekspor, membuatnya memproduksi hanya bentuk gerabah lokal, seperti celengan, guci dan patung. Sedangkan pemasarannya mengandalkan pasar lokal diantaranya tradisi Syawalan, Gerebeg Besar, dan pesta rakyat lainnya.
"Kalau harga guci berkisar Rp 85 ribu sampai Rp 300 ribu. Sedangkan celengan dari harga Rp 5 ribu sampai Rp 25 ribu. Selama ini permintaan datang dari Purwodadi, Rembang, Demak dan Jepara sendiri," tandasnya. (bgs/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini