Pukat UGM: OTT Tak Cukup Buat Jera Korupsi di Daerah

Pukat UGM: OTT Tak Cukup Buat Jera Korupsi di Daerah

Usman Hadi - detikNews
Rabu, 30 Agu 2017 15:04 WIB
Foto: Ari Saputra
Yogyakarta - Kasus tertangkapnya Wali Kota Tegal, Siti Masitha dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan ketakutan sejumlah kepala daerah. Namun belum cukup menimbulkan jera para kepala daerah. Bila tidak ada penanganan, kasus serupa bisa saja terulang di daerah lainnya.

"OTT saja tidak cukup, bila tidak ada penanganan. Kasus serupa bisa saja terulang di daerah lain," ungkap Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Muchtar.

Dia mengatakan negara harus berpikir ulang. KPK, DPR dan pemerintah harus keluar dengan resep, tidak berhenti dengan menangkapi orang, agar kejadian ini tidak terulang lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, pemerintah harus memperbaiki proses pemilihan kepala daerah. Komposisi gaji kepala daerah juga harus ditinjau ulang. Karena ditengarai praktik korupsi kepala daerah salah satunya dilatarbelakangi gaji minim.

"Karena kalau kita lihat peta gaji formal kepala daerah, memang sangat lemah, kecil banget. Tapi di sini saya tidak berbicara soal jumlah (gaji kepala daerah), karena komposisi gaji kepala daerah agak bervariasi," kata Zainal kepada wartawan di Kantor Pukat UGM, Rabu (30/8/2017). ujarnya.

Oleh sebab itu Zainal mendorong pemerintah menghitung ulang gaji yang sesuai bagi kepala daerah. Dengan catatan komposisi gajinya berdasarkan rasionalitas. Bukan asal menaikkan gaji tanpa pertimbangan.

"Gaji gubernur sebaiknya berapa, gaji presiden berapa, gaji menteri berapa, tapi (harus) keluar dengan rasionalitasnya. Sementara kalau gajinya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta untuk bupati dan sebagainya, iya kalau dia (kepala daerah) mau jujur," tuturnya.

Padahal banyak celah yang bisa digunakan kepala daerah untuk melakukan korupsi. Menurutnya praktik tersebut biasanya dilakukan dengan menjual perizinan, bermain di penganggaran proyek pembangunan, sampai jaminan pengawasan.

"Sekarang kan problemnya kita masih pakai UU 17 tahun 2003, yang mengatakan DPRD membahas hingga satuan III jenis kegiatan belanja barang," ungkap Zainal.

Terkait langkah pemerintah memindahkan proses pengurusan perizinan, semula dari Pemda II ke Pemda I atau ke pemerintah pusat juga tidak efektif. Cara ini tidak menyelesaikan masalah. Sebab hanya memindahkan praktik suap dari Pemda II ke Pemda I, atau bahkan ke pemerintah pusat.

"Keputusan pemerintah menarik (perizinan) ke provinsi atau ke pusat, itu tidak menyelesaikan masalah. Karena hanya memindahkan penyakitnya saja. Pindah memindahkan perizinan tidak cukup," pungkas dia. (bgs/bgs)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads