Aksi Tolak LHS, 25 Ribu Warga NU Tumpah di Jalan Slamet Riyadi Solo

Aksi Tolak LHS, 25 Ribu Warga NU Tumpah di Jalan Slamet Riyadi Solo

Bayu Ardi Isnanto - detikNews
Kamis, 24 Agu 2017 17:34 WIB
Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom
Jakarta - Sekitar 25 ribu warga Nahdlatul Ulama (NU) Kota Solo dan sekitarnya melakukan aksi long march dari Stadion Sriwedari menuju Masjid Agung Surakarta. Mereka menolak kebijakan sekolah 8 jam 5 hari atau lima hari sekolah (LHS).

Aksi diikuti oleh organisasi-organisasi sayap NU, seperti GP Ansor, Banser serta santri dari pondok pesantren di Solo dan daerah sekitarnya. Ribuan massa datang menggunakan bus, truk dan kendaraan roda empat lainnya. Saat aksi berlangsung jalan sekitar Slamet Riyadi di Gladag sempat macet karena ribuan orang tumpah-ruah di jalan utama Kota Solo tersebut.

Para peserta aksi mengenakan pakaian warna putih dan hitam dengan membawa bendera NU. Beberapa di antara mereka mengenakan ikat kepala merah putih dan juga membawa bendera merah putih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Warga NU demo di Kota SoloWarga NU demo di Kota Solo Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom


Massa berjalan sepanjang sekitar 3 km, mereka menyanyikan lagu patriotik NU dan lagu-lagu perjuangan Indonesia. Di sela-sela nyanyian, mereka juga memekikkan takbir dan slogan 'NKRI Harga Mati'.

Rencananya, para demonstran akan melanjutkan aksi di Masjid Agung Surakarta dengan istighosah kubra.

Ketua panitia aksi, KH Muhammad Mahbub mengatakan Permendikbud No 23 Tahun 2017 tersebut tidak berpihak terhadap eksistensi madrasah diniyah (madin). Padahal menurutnya, madin telah sejak lama membangun karakter anak bangsa.

"Adanya Permendikbud ini bisa memberangus madin. Tidak hanya madin dari NU, tapi juga yang lainnya. Misalnya di Sukoharjo itu ada 50 madin, NU hanya ada 10. Kalau anak itu pulangnya sore, sudah capek, pasti tidak bisa ikut madin," kata Mahbub kepada wartawan.

Mereka juga menuntut pemerintah untuk mencabut peraturan yang dibuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.

"Kebijakan tidak dibuat berdasarkan kondisi masyarakat di bawah. Pemerintah ingin membuat penyeragaman pendidikan, tapi pemerintah tidak memahami lokalitas. Kami menuntut agar peraturan itu dicabut," ujarnya.

Usai menggelar doa bersama massa kemudian membubarkan diri dengan tertib. (bgs/bgs)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads