Jam ini berupa lempengan tembaga atau kuningan yang ditekuk serupa setengah lingkaran, kemudian diatasnya dipasang sebuah benda semacam paku.
Pada lempengan tembaga tersebut terukir angka-angka yang menunjukkan waktu. Pada saat matahari menyinari jarum, bayangannya akan jatuh pada angka tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Meski bukan termasuk peninggalan Pangeran Diponegoro, namun masjid ini berpatokan pada istiwa karena akurat. Istiwa bisa ditemukan di dekat pintu masuk halaman menuju masjid.
Untuk mengantisipasi adanya tangan jahil yang merusak, dan melindungi dari cuaca, istiwa ini ditutup menggunakan kubah masjid kecil.
Jam matahari ini kerap berbeda dengan jam biasa, tergantung dengan musim. Perbedaan tersebut berkisar antara 5 hingga 30 menit lebih cepat dibanding waktu biasa.
Pengelola Masjid Langgar Agung, KH Ahmad Nur Shodiq menuturkan, dirinya memasang dua jam sebagai pembanding waktu.
"Meski demikian, yang menjadi patokan kami adalah jam istiwa," ujarnya.
Digunakannya jam istiwa tersebut, membuat jamaah masjid kadang tertinggal. Pasalnya, masyarakat sekitar berpedoman pada jam biasa.
"Pernah suatu ketika istiwa dan jam biasa selisih 30 menit, pas sudah azan jamaahnya belum ada yang datang sama sekali," kata Ahmad.
Di Jawa Tengah, istiwa ini termasuk salah satu dari tiga yang ada. Dua lainnya ada di Masjid Agung Kauman Kota Magelang dan Masjid Raya Solo.
Kekurangan yang ada pada istiwa yaitu hanya bisa dipergunakan untuk menentukan waktu sholat Zuhur dan Ashar. Selain itu, ketika mendung atau cahaya matahari tertutup awan, istiwa ini tak bisa digunakan. Kemudian, setiap 5 hari sekali harus dilihat dan dibersihkan, sehingga keakuratan jam tetap terjaga.
Adapun jika terjadi kerusakan, orang yang memperbaiki harus ahli falak, bukan sembarang orang. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini