"Pengembangan E-Gamatuna berawal dari keprihatinan terhadap penyandang tunanetra yang kesulitan dalam belajar dan memainkan gamelan," ujar salah satu anggota kelompok, Fadli Fajeri dalam jumpa pers di Gedung Rektorat UGM, Sleman, Senin (5/6/2017).
Selain Fadli yang merupakan mahasiswa Sekolah Vokasi (SV), Teknik Elektro bersama 3 tahun yang lain yakni Dinar Sakti Candra Ningrum (SV, Elins), Muhammad Ali Irham (SV, Elins), Sapnah Rahmawati (Ekonomi Terapan), dan Musfira Muslihat (Psikologi).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadli menjelaskan E-Gamatuna menggunakan alumunium foil sebagai sensor untuk dipasang di jari-jari penggunanya.
"Jadi karena tunanetra mereka tidak memerlukan presisi akan dipukulkan ke mana (jari-jari yang sudah dipasangi sensor). Karena logika nadanya ada di jari itu, dan hanya perlu diketukkan ke grounding (hardware)," jelasnya.
Sapnah menambahkan, sensor nada ini dipasangkan di tujuh jari tangan yaitu 4 jari kiri dan 3 jari kanan. Mampu mengeluarkan nada dengan notasi kepatihan. Notasi kepatihan ini merupakan notasi angka dalam Bahasa Jawa, yaitu ji, ro, lu, pat, mo, nem, pi.
Hardware ini tersambung dengan perangkat laptop yang sudah memiliki aplikasi E-Gamatuna dan berfungsi juga sebagai penghasil suara.
Sapnah menjelaskan saat ini E-Gamatuna masih berupa prototipe dengan isntrumen saron. Namun ke depan mereka akan dikembangkan instrumen lainnya seperti demung dan peking.
Fadli mengatakan, pengembangan alat ini ini tidak hanya membantu penyandang tunanetra memainkan gamelan. Namun demikian, juga semakin memperluas upaya promosi kebudayaan tradisional Indonesia.
Kelebihan E-Gamatuna ini yakni lebih murah karena pembuatannya membutuhkan dana tak lebih dari Rp 500 ribu. Selain ekonomis, alat ini juga fleksibel bisa dibawa ke manapun. (sip/bgs)