Nama Pakis sendiri dipilih dari nama sayuran khas pegunungan yang tumbuh subur di kawasan sejuk itu. Namun Pakis juga bisa diartikan berarti Piety atau kesalehan, Achievement berarti prestasi, Knowlegde atau ilmu pengetahuan, Integrity atau integritas, dan Sincerity atau keikhlasan.
Konsep awal dari sekolah tersebut adalah mengajak anak-anak pinggir hutan yang rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu untuk bersekolah secara gratis. Bangunan sekolah awalnya hanya terbuat dari bangunan sederhana berdinding anyaman bambu. Selanjutnya bangunan itu direnovasi setelah mendapatkan bantuan pembangunan gedung dari Kementerian Agama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu muridnya adalah Tasripin. Kisah haru Tasripin pernah mendapat sorotan khusus media massa beberapa waktu lalu. Dia adalah anak kecil yang harus mengasuh adik-adiknya dengan bekerja sebagai buruh tani setelah ayahnya merantau ke Kalimantan dan ibunya meninggal terkena bencana longsor. Selulus pendidikan SD, Tasripin melanjutkan pendidikan di MTs Pakis.
![]() |
Meskipun hanya merupakan kelas jauh dari sekolah induk, pendidikan di MTs Pakis terbilang berbeda. Di sekolah berukuran 7x17 meter dan 7x13 meter itu, di sekitarnya dilengkapi sebuah pondok literasi dengan areal pertanian, kandang kambing, kandang ayam serta kolam ikan.
Selain diajari pelajaran umum, siswa di sekolah itu juga mendapat pelajaran agroforestry, yakni memadukan pertanian dengan area hutan. Siswa MTs Pakis diajari cara bertani dan beternak agar tetap bisa meneruskan jejak orang tuanya yang rata-rata merupakan petani.
"Diajari pertanian organik dan beternak kambing. Di gubuk literasi kami dianjurkan banyak membaca agar menambah wawasan. Setelah lulus ingin bertani, seperti bapak saya. Saya tidak ingin menghilangkan jiwa petani itu, malah ingin menumbuhkan. Insyaallah cita-cita saya jadi pengusaha pertanian," kata Riyan (16 tahun) salah satu siswa.
![]() |
Menurut Isrodin, pegiat pendidikan yang juga Kepala Sekolah MTs Pakis, model pendidikan sekolah yang dipimpinnya mengajarkan agar para siswa tidak melupakan dari mana mereka berasal serta apa yang dapat mereka lakukan untuk memajukan desanya.
"Salah satu upaya basis pendidikan kita karena berada di pinggiran desa, anak desa, bocah desa ya dia harus memahami kearifan lokal desa. 'Kacang jere, aja kelalen karo lanjarane' (jangan lupa pada asalnya dan yang telah yang menopang kehidupannya). Jadi kita terlahir di mana, basis orang tua di mana, jangan sampai kita malu apalagi tidak mengakui," kata Isrodin.
Menurut dia pendidikan literasi yang banyak dipahami saat ini hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis. Padahal pendidikan literasi seharusnya tidak hanya sebatas itu. Esensi literasi yang sebenarnya harus sampai pada apa yang dibaca, apa yang ditulis serta semampu apa yang dapat dilakukan sehingga siswa mempunyai bekal dan ketrampilan.
"Secara tidak sadar pendidikan kita mulai bergeser, kehilangan makna. Akhirnya substansi dari pengajaran dan pembelajaran itu hanya sekadar transfer ilmu. Mendidik hanya sekedar menjalankan tugas dan kewajiban saja, tanpa berfikir bahwa mendidik ini passion," tuturnya.
"Bedalah ketika orang bekerja hanya sekedar 'sudah selesai dan tidak berfikir lagi'. Tapi kalau kerja menggunakan passion saya yakin dia paling tidak punya angan-angan 'setelah lulus mau kemana'. Terus kita dampingi anak-anak itu jangan sampai putus sekolah. Nah persolan itu tidak gampang di kawasan pinggiran seperti ini," lanjutnya.
![]() |
Keterlibatan masyarakat dan orang tua sangat penting untuk mendukung pendidikan anak-anak. Itu karena pemahaman masyarakat pelosok desa terkait pentingnya pendidikan masih sangat terbatas. Orangtua akan membiarkan dan memaklumi jika anak-anaknya memilih putus sekolah untuk bekerja atau menikah muda. Mereka merasa tidak butuh akan pendidikan, yang mereka butuhkan adalah bisa makan hari ini.
"Kita mencoba melibatkan secara intens orang tua dengan beraktifitas bersama. Mulai dari belajar menyiapkan lahan bersama dengan orang tua, panen bersama, hasilnya dibagi bersama. Bahkan dalam kegiatan belajar, ujian pun diawasi oleh orang tuanya di kelas. Kita ingin membangun keluarga. Pendidikan ini, keluarga menjadi nomor satu. Walaupun sudah ada sekolah, tapi keluarga tetap nomor satu," ungkapnya.
Perjuangan meyakinkan masyarakat pelosok desa tentang pentingnya pendidikan, kini sedikit banyak membuahkan hasil. Salah satunya adalah Darso (59), orang tua siswa yang mendampingi dua anaknya belajar di MTs Pakis. Dia sadar pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya meskipun berada di dusun yang jauh dari perkotaan.
"Disini, biarpun di hutan, pendidikan sangat penting. Biar ada peningkatannya, supaya anak-anak jangan sampai ketinggalan. Selagi saya mampu memang ingin anak-anak ada peningkatan, jangan cuma sekolah, tahu tulis dan baca, tapi juga bisa dipraktekkan. Bertani, beternak dan lain-lain. Saya lebih semangat saat panen bersama anak-anak," ujar Darso.
![]() |
Tidak berhenti pada praktik ilmu dan menanam, para siswa juga didorong belajar menjual hasil sayur yang ditanam ke warung hingga instansi pemerintah. Hasil pertanian yang mereka tanam lalu lelang. 15 kg kacang buncis misalnya, dilelang dengan harga pembukaan Rp 10 ribu. Kadang terjual hingga Rp 500 ribu jika ada peserta lelang yang memang peduli pada pendidikan kawasan terpencil.
"Ada juga terong 20 kg terjual Rp 500 ribu, padahal anak-anak menawarkan mulai dari angka Rp 10 ribu. Apapun hasilnya, anak-anak juga yang merasakan. Entah itu untuk uang jajan atau beli buku. Karena sedikit ataupun banyak hasilnya, ya kita nikmati bersama," tutur Isrodin.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini