Cerita Diaspora Jawa, Bukan Orang Buangan di Negeri Seberang

Cerita Diaspora Jawa, Bukan Orang Buangan di Negeri Seberang

Bagus Kurniawan - detikNews
Selasa, 18 Apr 2017 14:35 WIB
Foto: Bagus Kurniawan/detikcom
Yogyakarta - Berbagai kisah sedih, pilu bahkan berdarah-darah mengenai keturunan orang Jawa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Mereka pergi dari tanah leluhurnya di Pulau Jawa karena menjadi budak, buruh di perkebunan-perkebunan dan dibuang karena menjadi tahanan politik Belanda saat itu.

Orang Jawa pergi ke Suriname pada awal tahun 1900-1939 menjelang pecah Perang Dunia (PD) II karena menjadi buruh perkebunan milik Belanda. Demikian pula dengan orang Jawa yang berangkat di Kaledonia Baru mereka juga menjadi buruh di tanah jajahan milik Perancis di wilayah Kepulauan Pasifik. Ada lagi orang Jawa yang menjadi buruh perkebunan milik Belanda di Sumatera Utara di Deli Serdang.

Namun ada pula orang Jawa yang harus meninggalkan tanah kelahiran karena politik, Mereka menjadi orang buangan. Seperti halnya yang dialami keluarga Kyai Modjo, salah satu tokoh pahlawan perang Diponegoro 1825-1830. Kyai Modjo bersama para pengikutnya di buang ke Tondano, Sulawesi Utara. Keluarga keturunan Kyai Modjo dan para pengikutnya telah membentuk keluarga Jawa di Tondano. Anak keturunan yang sudah kawin dengan warga Tondano saat ini dikenal dengan sebutan Jawa Tondano atau jaton.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu keturunan Jaton hingga generasi keenam ini adalah Ny Sri Rahayu Zess. Dia hadir mewakili warga Jawa Tondano dalam acara Javanese Diaspora III atau Diaspora Jawa "Ngumpulke Balung Pisah " di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

"Sejarah leluhur kita adalah sejarah perjuangan yang menyedihkan. Ada cucuran air mata dan darah. Ada masa-masa getir waktu itu karena di buang jauh," kata Ayu panggilang akrabnya.

Dia kemudian menceritakan saat Kyai Modjo bersama 63 orang pengikutnya semua laki-laki di buang pemerintahan Belanda ke Minahasa Sulawesi Utara tahun 1830. Setelah Kyai Modjo ditangkap kemudian dibawa ke Semarang, Batavia kemudian Ambon dan terakhir di Minahasa hingga wafat.

Menurut Ayu, Kyai Modjo bersama para pengikutnya kemudian banyak yang menikah dengan penduduk asli Minahasa. Mereka bisa diterima oleh penduduk asli waktu itu sehingga bisa hidup berdampingan.

"Mereka dulu harus tinggal di hutan-hutan. Mereka juga mengajarkan penduduk cara-cara bercocok tanam seperti di tanah Jawa. Saat itu banyak masyarakat yang belum tahu bagaimana mengolah tanah, bertani atau berkebun," katanya.

Ilmu-ilmu pengetahuan dari Jawa itulah yang dibawa oleh rombongan Kyai Modjo. Sementara itu mereka juga tidak boleh membawa senjata karena menjadi tahanan politik.

"Ilmu yang ada dipikiran itu yang kemudian diajarkan kepada penduduk," katanya.

Menurut Ayu, dirinya bersama warga Jaton lainnya juga sudah pernah mengunjungi tempat kelahiran Kyai Modjo di desa Mojo di daerah Boyolali.

"Kami sudah mengunjungi Desa Mojo, melihat makam leluhur keluarga di sana, termasuk makam keluarga Kyai Baderan dan bisa ketemu pertalian hubungan darah dengan keluarga di Jawa. Meski generasi kami sudah tidak ada yang bisa berbahasa Jawa lagi, namun ikatan emosional itu masih ada," pungkas dia. (bgs/bgs)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads