Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) RI melakukan pengawasan ketat dari mulai perizinan hingga operasionalnya. Proses untuk membangun fasilitas peralatan radioterapi di rumah sakit harus mengikuti SOP yang cukup ketat.
Kepala Bapeten, Prof Jazi Eko Istiyanto mengatakan peralatan untuk terapi radiokatif di rumah sakit diawasi BAPETEN. Seperti sumber daya manusianya, peralatan, arsitektur bangunan agar dapat mencapai keselamatan. Hal ini agar keselamatan pasien terus ditingkatkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada rumah sakit yang sudah existing dan ada yang dalam persiapan. Ada 33 rumah sakit yang existing. Yang sudah membangun tapi alatnya belum ada juga ada, sedang persiapan-persiapan. Perizinan ini untuk memberikan kenyamanan, menjamin keselamatan dan keamanan dalam penggunaan radio terapi. Jadi di kontrol dengan perizinan, dengan inspeksi," kata Jazi Eko Istiyanto pada Rakor Bapeten di hotel Harper Yogyakarta, Jumat (07/4/2017).
Direktur perizinan fasilitas radiasi dan zat radioaktif Bapeten, Zainal Arifin mengatakan pengawasan penggunaan nuklir dilakukan dengan ketat.
Desain ruangan yang digunakan harus memiliki izin dari Bapeten. Sehingga tidak bisa sembarangan dalam membuat desainnya.
Limbah radioaktif juga dikelola sesuai standar yang sudah diatur secara internasional. Rumah sakit tidak diizinkan untuk mengelola limbah sendiri.
"Limbah sudah dikelola yang diatur secara internasional. Pada waktu mau mengimpor juga sudah diatur. Karena ini termasuk zat radioaktif kategori 1 untuk keamananya," kata Zainal.
Ketua perhimpunan onkologi radiasi Indonesia (PORI) Prof Suhartati mengatakan, radiasi di rumah sakit ini menjadi salah satu tonggak pengobatan kanker bersama dengan bedah dan kemoterapi. 60% pasien kanker di dunia dalam satu fase dari penyakitnya memerlukan pengobatan radiasi.
"Sementara pasien kanker di Indonesia diestimasi 1 di antara 1000. Jadi 260 ribu pasien kanker per tahun akan terjadi. Dan sekitar 50-60 % nya, 140 ribu yang akan membutuhkan terapi radiasi," kata Suhartati. (sip/sip)