"Sri Edi Swasono memperoleh HB IX Award di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sedangkan Ciptaningsih Utaryo di bidang kemanusiaan," kata Rektor UGM Prof Dr Pratikno di Graha Sabha Pramana (GSP), Kamis (19/12/2013).
Menurut Pratikno, untuk bidang kemanusiaan panitia memilih Ciptaningsih Utaryo dari Yayasan Sayap Ibu. Dia dinilai sebagai tokoh sukarelawan yang sangat giat mengurus bayi-bayi tanpa orang tua karena panggilan hati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anugerah HB IX ini, kata Pratikno, diberikan kepada tokoh yang memenuhi beberapa kriteria. Keduanya dianggap sebagai tokoh yang meneruskan perjuangan Sultan HB IX sebagai tokoh dan pejuang kemerdekaan yang nasionalis, berjiwa demokrat sejati, berpendirian bahwa tahta adalah untuk rakyat, berpandangan jauh ke depan, serta bercita-cita tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan prestasi luar biasa di bidang Iptek, Kemanusiaaan dan Kebudayaan.
Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM, Prof Dr Sofian Effendi, MPIA mengatakan, Sri Edi Swasono merupakan guru besar yang konsisten memperjuangkan Pasal 33 UUD 1945 yang isinya ekonomi Indonesia. Bukan pasar liberal tetapi ekonomi yang mensejahterakan. Sri Edi Swasono merupakan tokoh yang tak berhenti mengingatkan pemerintah untuk kembali menerapkan pasal 33 UUD 1945.
"Yang oleh para pelaksananya sejak Orde baru tidak mau dipahami sehingga kita hanya penumpang yang dikendarai joki dari luar. Jokinya itu adalah WTO dan celakanya pemerintah menggebu-gebu mendukung WTO. Kita bangsa yang merdeka tetapi kita tidak berdaulat," ungkap Sofian.
Sri Edi Swasono yang juga suami Meutia Hatta mengatakan mengatakan, ambruknya ekonomi Amerika pada 2008 karena kesalahan teori ekonomi. Padahal di Amerika sendiri banyak peraih nobel dibidang ekonomi.
"Mari kita benahi teori ekonomi. Kalau teorinya salah maka praktiknya juga salah. Kita ini menghabiskan waktu seolah-olah teori yang berlaku seperti pendulum diantara ekonomi kerakyatan dan kapitalis," katanya.
Menurut dia, selama ini teori ekonomi yang berlaku justru memiskinkan pemikiran manusia. Teori yang berlaku dan yang dipercaya adalah yang paling baik menghasilkan keuntungan maksimal.
"Ini yang mengakibatkan negara menjual kemerdekaan dan kedaulatannya. Di Indonesia secara hukum adalah daulat rakyat tetapi secara praktik ternyata daulat pasar. Ini proses aboriginisasi, harus ada yang memperingatkan antara lain dengan cara kita melalui intelektualitas," pungkas Edi Swasono.
(bgs/try)