Bencana banjir bandang dan longsor pada 2020 membuat satu kampung di Cigobang hilang ditelan bumi. Ada satu RT yang memilih pergi mengungsi dan tinggal di hunian sementara kecuali keluarga Saman dan Neni.
Pilihan tinggal di kampung mati karena tak kunjung ada kepastian hunian tetap yang dijanjikan pemerintah. Saman dan Neni tinggal di rumah anaknya yang dulu kena dampak longsor. Sementara rumah miliknya sudah rata tertimbun tanah.
"Sayang rumahnya nggak di tempatin. Sudah keluar uang buat bangun rumah," kata Saman kepada detikcom, Rabu (5/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi waktu itu rumah ini masih direnovasi, eh ada bencana. Kamar samping jebol karena longsor," ucapnya.
Selain tak dapat kepastian, Saman mengaku pada saat terjadi bencana, cucunya baru saja lahir. Sebagai seorang kakek, ia tidak tega melihat cucunya jika harus tinggal di hunian sementara (huntara) yang berlapis terpal saja.
Saman bercerita, pada saat tejadi bencana sedang berkumpul di rumah anaknya. Mereka terjebak karena sisi kanan rumah sudah diterjang banjir, sementara sisi kiri rumah sudah banyak longsoran tanah.
"Pas bisa nyelamatin diri, ya semua keluar. 40 hari ngungsi di RT 05, bukan di huntara sama warga yang lain," ujarnya.
Selama berada di pengungsian, Saman sesekali mengecek rumah anaknya itu. Sayangnya, barang berharga di sana sudah ludes dimaling orang.
"Tabung gas, TV, yah barang-barang yang berharga semua dimaling. Lewat tembok yang jebol karena longsor," tambahnya.
Setelah 40 hari mengungsi, keluarganya memutuskan untuk tinggal bersama di rumah anaknya. Dampak bencanapun sangat dirasakan. Mereka harus menimba sumur untuk mendapatkan air bersih dan harus gelap-gelapan karena aliran listrik terputus.
"Bulan lalu baru ada listrik, itu juga kabelnya beli sendiri nggak dapat bantuan. Setelah pulang dari pengungsian, ya pakai lilin saja untuk penerangan,"katanya.
Rintangan bertahan di kampung mati tidak selesai sampai di sini, mereka juga harus legowo karena beberapa bantuan tidak sampai ke tangannya. Kabar yang didengar Neni isteri Saman, kalau keluarga mereka tidak masuk data karena dianggap keluarga mapan.
"Ada bantuan yang datang tapi ada juga yang enggak sampai. Katanya mah keluarga berada tapi namanya bencana, mau orang berada atau enggak, siapa sih yang mau jadi korban bencana. Kita sama saja, mulai lagi dari nol," kata Neni isteri Saman.
Pernah sekali waktu, kata Neni, ada orang yang mengaku relawan hendak melihat bagian rumah yang hancur karena bencana. Alih-alih melihat lokasi kamar, orang itu justru memaksa melihat dapur.
"Pintu digedor-gedor, bilangnya mau cek rumah tapi maksa mau lihat dapur. Puguh yang hancur itu kamar bukan dapur. Akhirnya beneran itu dia ke dapur, lihat-lihat selang tabung gas," sambung Neni.
Hingga saat ini, keluarga Saman-Neni tidak mendengar kabar lebih lanjut mengenai ganti rugi rumah bagi para korban. Dirinya berharap pemerintah dapat memberikan bantuan secepatnya dan seadil-adilnya.
"Semoga pemerintah segera datang bantu warga, penuhi janji-janjinya kemarin," ujar Neni.
(mso/mso)