Desa Kampungsawah, Kabupaten Karawang kerap diterjang bencana banjir dan angin kencang. Kondisi itu membuat aparatur desa berpikir keras agar warga lebih siap siaga dalam menghadapi bencana.
Bahkan para aparatur desa dengan kreatif membuat sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) kebencanaan dengan memanfaatkan barang-barang bekas.
Wakil Dusun Pasar, Desa Kampungsawah Dede Saepul mengungkapkan ide pembuatan EWS tersebut tercetus usai rapat bersama dengan pihak Kepala Desa (Kades) dan Badan Penanggulangan Kebencanaan Daerah (BPBD). Dari rapat tersebut, BPBD menyebutkan daerahnya rawan bencana, angin kencang, banjir juga longsoran tanggul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari rapat itu, akhirnya kami di tingkat RT membuat alat peringatan dini agar masyarakat lebih sigap lebih awal kalau ada bencana," kata Dede saat diwawancarai di kediamannya, Senin (29/11/2021).
Dia menyebut salah satu potensi yang kerap menerjang wilayahnya adalah banjir. Selain itu angin kencang juga menjadi ancaman.
"Angin kencang juga menjadi potensi bencana untuk Desa Kampungsawah, karena posisi desa yang 80 persen luas wilayah itu lahan pertanian maka hembusan angin kencang membahayakan bagi rumah-rumah warga. Atas dasar potensi bencana itu kami dan warga saling bahu-membahu memasangkan alat peringatan dini yang dibuat bersama juga," katanya.
![]() |
Alat peringatan dini merupakan alat kesiapsiagaan bencana. Dia mengungkapkan ada dua alat yang dibuat yakni alat ukur tinggi muka air (TMA) Sungai Citarum dan juga kincir angin penanda angin kencang.
"Banyak warga belum sigap atas bencana banjir jadi dibuatlah alat ukur tinggi muka air Sungai Citarum agar masyarakat bisa bersiapsiaga disaat yang tepat sehingga tidak menimbulkan kepanikan," ucapnya.
Untuk pembuatan alat TMA Sungai Citarum dibuat dengan biaya kurang dari Rp 100 ribu dan dipasang dititik luapan sungai.
"Alat ukur ini sederhana, terbuat dari sebatang bambu yang dicat dengan warna hijau, kuning dan merah sebagai tanda batas kesiapsiagaan dan dipasang di titik rawan luapan, kalau biaya kurang dari Rp 100 ribu," ucapnya.
Dia menjelaskan untuk mengukur tinggi muka air, yakni bambu diberi tanda dengan hijau, kuning dan merah.
"Warna hijau menandakan Sungai Citarum sudah meluap dan mulai menyentuh bagian bawah tanggul, lalu warna kuning menandakan setengah dari badan tanggul telah terendam. Dan merah adalah waktu masyarakat untuk bersiapsiaga serta mulai membuat pos pengawasan di tanggul untuk mengantisipasi adanya tanggul yang rembes atau limpas," ucapnya.
Untuk alat deteksi angin kencang, dirancang oleh seorang RT di Dusun Puloharapan, Desa Kampungsawahbernama Aji,.
"Untuk pembuatan alat deteksi angin itu serupa kincir dibuat sama Pak RT Aji dengan bahan bekas, jadi warga diharapkan lebih sigap bila kincir mulai memutar kencang, karena bencana angin kencang tidak jarang menumbangkan pepohonan dan pernah juga membuat rumah roboh terutama untuk rumah yang berada di pinggiran area pertanian seperti di RT saya," katanya.
Saat diwawancarai Aji selaku perancang alat deteksi angin kencang menuturkan alat tersebut berbentuk kincir angin yang sebagian komponennya didapat dari barang bekas.
"Kincir ini dapat menunjukkan arah angin datang dari mana dan akan mengeluarkan bunyi yang berisik jika angin berhembus sangat kencang," jelas Aji.
Dia menyebut ketika terjadi hembusan angin di atas normal suara yang dihasilkan kincir ini bisa terdengar sampai radius 100 meter dan sangat berisik, sehingga warga akan bersiap siaga jika terjadi hembusan angin yang sangat kencang.
"Jadi penanda angin kencang itu dari bunyi yang dihasilkan kincir angin," ujarnya.
(mso/mso)