Pakar Hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Holyness N Singadimedja menegaskan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) masih tetap jadi acuan penetapan upah minimum provinsi (UMP), meskipun saat ini statusnya masih dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sekadar diketahui, serikat buruh dari berbagai wilayah di Indonesia menolak penetapan upah minimum tahun 2022. Alasan penolakan itu karena upah minimum dihitung berdasarkan PP 36 Tahun 2021 yang menginduk kepada UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) baru akan mengumumkan nasib UU Cipta Kerja besok, Kamis (25/11/2021). Judicial review sebelumnya diajukan oleh belasan elemen masyarakat yang meminta UU tersebut dicabut dan dibatalkan MK.
"Ini dijadikan alasan oleh serikat pekerja untuk menolak UMK karena UU Cipta Kerja sedang di-judicial review, ketika MK belum memutuskan apakah UU Cipta Kerja sah atau tidak, maka selama belum ada putusan MK, UU itu dapat dilaksanakan atau diikuti," ujar Holyness dalam sesi wawancara secara virtual, Rabu (24/11/2021).
Dari segi hukum, katanya, UU Cipta Kerja tetap dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada azas praduga keabsahan. Selama UU itu masih bisa dilaksanakan, maka penetapan UMK sesuai aturan yang berlaku, yaitu ke UU Cipta Kerja dan PP 36," katanya.
"Saya rasa UU ini sangat mengunci pemerintah dalam hal ini gubernur, karena ini program strategis nasional, pemda harus ikuti dan merujuk ke UU," ujar Holyness menjelaskan.
Simak video 'Buruh Minta Hakim MK Adil soal Gugatan UU Cipta Kerja':
(yum/bbn)