Laki-laki paruh baya tengah duduk di pelataran gubuk kayu. Sementara pandang matanya seolah mempertanyakan kepada nasib, apakah bertahan di antara besi tua bekas rel kereta ataukah menyerah dan pulang ke rumah.
"Kondisi saat ini tidak seperti dulu lagi," begitulah ungkapan yang terlontar dari Nedi Junaedi (71) alias Abah Kondor sesepuh para penghuni lokalisasi Seer yang melegenda di Karawang.
Bagi warga Karawang, kawasan Seer tidak asing lagi terdengar di telinga. Dikenal sebagai lokalisasi kelas bawah yang berlokasi di lahan kawasan stasiun Karawang atau tepatnya di tengah pusat kota Karawang dan menjadi langganan penertiban Satpol PP juga ormas keagamaan karena disebut sarang kemaksiatan. Namun bagi Abah Kondor lokalisasi Seer bukan sekadar tempat kemaksiatan melainkan tempat perjuangan warga dalam mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan keluarga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang tempat ini sudah dikenal sarangnya kemaksiatan, mesum dan lain-lain. Tetapi bagi penghuni di sini, tempat ini menjadi pilihan terakhir untuk beradu nasib mencari rezeki," ungkap pria yang pernah bekerja menjadi mantri pasar di Karawang.
![]() |
Asal Usul Lokalisasi Seer
Kepada Detikcom, Abah Kondor mengisahkan nama Seer tercipta pada tahun 70-an dari gerbong kereta yang terparkir.
"Dulu di sini pada tahun 70'an tempat parkirnya kereta gerobak pengangkut barang, yang pintunya bisa digeser di dua sisi dan gerbongnya itu ada nomor serinya 'SR' dan jadi sebutan bagi penghuninya," katanya.
Sebelum sebutan Seer disematkan, kata Abah Kondor, para penghuni yang kebanyakan dari golongan gelandangan dan pengemis sudah menempati lokasi ini sejak awal.
"Jadi dulu juga udah banyak penghuninya tapi kebanyakan gelandangan dan pengemis dari daerah luar Karawang, dan terkadang tidur di dalam gerbong keretanya juga," ujarnya.
Seiring banyaknya pendatang dari luar Karawang, praktik prostitusi akhirnya tumbuh. Tempat yang dulunya parkir kereta berubah menjadi lokalisasi.
"Jadi dulu itu banyak perempuan yang menjajakan diri pakai samping (kain yang biasanya bercorak batik) duduk di depan gubuk yang mulai banyak dibuat dan kalau sekarang sudah tidak pakai samping lagi," terangnya.
Baca juga: Menilik Penghuni 'Istana Sisi Rel' di Cimahi |
Pada Tahun 2000-an, Abah Kondor membuat warung kopi di lokalisasi tersebut. Ia juga mengaku menjual minuman keras.
"Dulu kalau tidak salah tahun dua ribuan Abah buka warung kopi dan juga jual arak, anggur dan bir, lumayan dapat untung banyak. Tapi kalau sekarang sekadar warung kopi itupun sudah jarang ada yang beli karena sepi," kata pria yang memiliki 8 anak ini.
Tempat esek-esek Seer juga dikenal sebagai lokalisasi dari kalangan kelas bawah karena tarif dan tempat.
"Karena memang harganya murah dan juga tempatnya cuma pakai gubuk triplek jadi dikenal memang sebagai lokalisasi kelas bawah," terangnya.
Lantas bagaimana ceritanya lokalisasi yang legend ini akhirnya tutup? Simak kisahnya di halaman berikutnya
Simak juga Video: Jangkau Daerah Terpencil di Karawang, 1.000 Vaksin Dibawa Pakai Motor
Puluhan Kali Dirazia dan Digusur
Bagai jamur di musim semi, lokalisasi Seer masih tumbuh meski sudah beberapa kali digusur, diratakan dan bahkan dibakar.
"Sudah puluhan kali razia, dan beberapa kali digusur, terus diratakan gubuknya sama Beko, terus dibakar tapi tetap bangun lagi sampai saat ini meski sudah mulai mati suri," ujar pria berjenggot putih ini.
Ia mengakui juga, para pramuria yang datang menghuni lokalisasi ini mayoritas dari luar Karawang.
"Di sini rata-rata bukan asli orang Karawang, kebanyak dari luar seperti Indramayu dan Subang, dan mereka datang dengan sendirinya," ungkapnya.
Keberadaan gubuk juga dikatakannya hanya menjadi tempat untuk memuaskan hasrat dan para pramurianya tidak semuanya menetap.
"Paling yang menetap itu bisa dihitung jari, karena tidak semua menetap, dan gubuknya cuma buat 'maen' aja!" Katanya.
Setelah aturan dari PT KAI lokalisasi Seer mulai mati suri. Akibat pemagaran juga pembersihan wilayah PT KAI dari keberadaan pemukiman kumuh.
"Jadi saat PT KAI menerapkan kebijakan penertiban pemukiman kumuh di sekitaran stasiun Karawang, dan pemagaran di sepanjang wilayah kawasan stasiun, kehidupan di Seer seakan mati suri, satu persatu penghuni mulai berpindah, dan pengunjung mulai jarang ada karena jalan masuknya sudah ditutup jadi parkiran rumah sakit Dewi Sri," terangnya.
Adapun jalan menuju ke lokalisasi harus masuk melalui jalan masuk stasiun Karawang, ataupun menyebrang jalur kereta api.
"Jadi sekarang pintu masuknya harus dari stasiun Karawang, dan tidak ada pilihan lain, kalaupun mau harus jalan kaki menyebrang rel dari arah Utara," ucapnya.
Dari aturan tersebut para pedagang kopi seperti Abah Kondor terkena imbasnya, hingga akhirnya bangkrut dan tidak berjualan lagi.
"Sekarang saya menganggur, tapi Alhamdulillah anak sudah menikah semua dan bekerja, paling kegiatan hanya nongkrong di sini menghabiskan sisa waktu bersama Seer ini," katanya.
Di akhir wawancara, Abah Kondor berharap wilayah Seer ini bisa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi kawasan yang lebih manusiawi dan para penghuninya bisa diperdayakan.
"Saya hanya berharap ke depannya lokasi ini yang lahannya lumayan cukup luas ini bisa dikembangkan dan dimanfaatkan lebih manusiawi karena lokasi ini tepat berada di pusat kota, dan para penghuninya bukan diusir tapi diperdayakan," tandasnya.