Seorang perempuan diasingkan dari keluarga dan tanah kelahirannya ke pulau lain yang berjarak sekitar 2.685 kilometer di tahun 1906. Bisa dibayangkan kondisi saat itu, jangankan handphone untuk listrik pun baru ada pada 1927 di negeri jajahan masa itu.
Tempat pengasingannya dianggap tempat paling ideal oleh pemerintah Hindia Belanda lantaran minim akan pemberontakan. Dia yang telah menginjak lanjut usia bersama pengawalnya diangkut menggunakan kapal laut dari ujung sebuah pulau ke pulau lain yang berjuluk Pulau Padi.
Dialah Cut Nyak Dien, Pahlawan Nasional yang terkenal dengan ke shalehahannya dan keberaniannya. Dibuang saat usianya genap 58 tahun dari Lampadang Aceh ke pulau Jawa atau tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gubernur Hindia Belanda kala itu dijabat oleh Willem Rooseboom (1899-1904). Sementara yang ditugasi dalam perang Aceh, yakni Johannes Benedictus van Heutsz selaku Gubernur Militer dan sipil Aceh yang kemudian naik jabatan menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kenaikan jabatannya tersebut, salah satunya lantaran telah berhasil memadamkan perlawanan dari sosok perempuan pemberani yang tidak lain adalah Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien diangkut dari Aceh ke Batavia dengan menggunakan kapal laut untuk kemudian menuju Sumedang. Jika menggunakan jalur darat, Cut Nyak Dien dipastikan akan menyusuri jalur yang dibangun Daendels.
Dia dipastikan akan melintasi jalur Cadas Pangeran lama yang memiliki lereng dan jurang dengan kedalaman 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Karena jalur Cadas Pangeran baru yang berada di bawahnya baru dibangun sekitar tahun 1908.
Saat Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, bupatinya kala itu dijabat oleh Pangeran Suria Atmadja atau Pangeran Mekah yang menjabat dari 1883 sampai 1919. Dia adalah Bupati terakhir yang memiliki gelar pangeran.
Sebagai seorang pemimpin, Pangeran Suria Atmadja dikenal sebagai pribadi yang sederhana berpengaruh dan dikenal akan kesalehannya. Seusai menjabat sebagai Bupati Sumedang, ia pergi untuk melaksanakan ibadah haji ke Kota Suci Mekah hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 1 Juni 1921 di sana. Dari sinilah ia dikenal dengan sebutan Pangeran Mekah.
![]() |
Dengan pengaruhnya, ia mengambil alih perawatan dan perlindungan untuk Cut Nyak Dien dari Pemerintah Hindia Belanda di Sumedang. Hal itu dilakukan karena tidak tega melihat Cut Nyak Dien sebagai sosok yang sangat dihormati dan disegani di tanah Aceh, harus berakhir di dalam jeruji penjara bersama tahanan politik lainnya.
Cut Nyak Dien kemudian ditempatkan di rumah Siti Shalihah di bawah perawatan anaknya bernama Ibu Syamsiah atau biasa dipanggil Ibu Enci. Selama masa pengasingannya, Cut Nyak Dien melakukan aktivitas dengan mengajarkan Al-Quran kepada penduduk sekitar. Ia pun dikenal warga dengan beberapa panggilan nama, yakni Ibu Suci, Ibu Perbu dan Ibu Ratu.
"Dalam keadaan matanya kurang melihat Cut Nyak Din mengajarkan Al-Qur'an kepada warga sekitar di tanah pengasingannya, termasuk mengajar Pak Bulkini sebagai saksi sejarah bahwa rumah ini menjadi rumah yang ditinggali Cut Nyak Dien di Sumedang," terang Nenden Dewi (54) yang merupakan keturunan generasi ke empat dari Siti Shalihah dari Aisah anak dari Ibu Syamsiah saat ditemui detikcom, Kamis (7/10/2021).
Nenden menjelaskan Pak Bulkini atau Raden Bulkini yang menjadi saksi bahwa rumah ini adalah rumah yang ditinggali oleh Cut Nyak Dien, merupakan keturunan Pangeran Suria Atmadja dan menjadi sesepuh kaum (lingkungan sekitar masjid Agung Sumedang) kala itu. Dia yang menunjukan rumah ini sebagai tempat tinggal Cut Nyak Dien saat dilakukan penelusuran sejarah.
"Pak Bulkini itu masih keturunan dari Keluarga Gedung Negara, atau masih keturunan Pangeran Suria Atmadja," kata Nenden.
Rumah atau tempat tinggal Cut Nyak Dien di Sumedang berada di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang. Rumah tersebut diwariskan secara turun temurun dan saat ini pegang oleh keturunan di generasi keempat.
"Keunikan tempat tinggal Cut Nyak Dien adalah tempat cagar budaya sekaligus tempat tinggal bagi keluarga kami," ujar Nenden.
Sesuai perkembangan zaman, rumah tempat tinggal Cut Nyak Din sempat mengalami perubahan. Namun pada tahun 2009, rumah tersebut dikembalikan kepada bentuk semula.
Untuk mengenang masa-masa pengasingan Cut Nyak Dien di Sumedang, beberapa material bangunan rumah masih mempertahankan material aslinya kala itu. Diantaranya, yakni 8 tiang yang berada di dalam rumah, satu pasang pintu menuju ke ruang keluarga, dan bagian bilik yang berada di depan tepas rumah.
"Dulu rumah ini itu ada tepasnya, namun tepas itu sekarang menjadi ruang tamu seperti sekarang ini namun untuk bentuk rumah saat ini tidak jauh dari bentuk rumah kala itu," ujar Nenden.
Rumah tersebut saat ini di bawah pemeliharaan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ada 6 tempat yang dijadikan Cagar Budaya di bawah pemeliharaan BPCB di Sumedang, diantaranya Rumah tinggal Cut Nyak Dien, Makam Cut Nyak Dien, Goa Gunung Kunci, Goa Gunung Palasari, Goa Gunung Gadung dan situs Tajimalela di Darmaraja.
"Kalau saya sudah tidak ada mungkin pemeliharaannya akan dilanjutkan oleh anak saya," ujar Nenden yang kini telah memiliki dua buah hati Bersama suaminya Dadang (69).
Rumah tinggal Cut Nyak Dien di Sumedang menjadi salah satu bukti sejarah untuk menggambarkan keberanian pahlawan asal Aceh dalam mempertahankan tanah kelahiran dari penjajah Belanda hingga harus menerima pengasingan ke Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Gunung Puyuh Sumedang.
(mso/mso)