Gedung bioskop Pasifik menjadi salah satu bangunan heritage di Sumedang. Gedung itu pun menjadi saksi bisu bentrokan yang pernah terjadi antara Sarekat Rakyat (SR) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Hejo bentukan Pemerintah Hindia Belanda di Tahun 1925.
Gedung bioskop yang dibangun oleh bangsawan Belanda bernama Boesee dan diresmikan oleh Pangeran Soeria Soemantri sekitar tahun 1920-an itu, kini telah berubah menjadi Gedung Fashion.
Dalam Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan (Hafidz:2021), diungkapkan bahwa bentrokan yang terjadi antara Sarekat Rakyat dan Sarekat Hejo lantaran urusan karcis. Kejadian itu dipicu akibat adanya aksi provokasi yang sempat terlontar dari anggota Sarekat Hijau yang mengolok-olok anggota SR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu sebagaimana yang diberitakan dalam surat kabar Soerapati edisi 8 Agustus1925 :
"Doeloer-doeloer oerang noe dina boelan Januari geus dihina djeung digelokeun di Soemedang berhoeboeng djeung papaseaan dina oeroesan kartjis bioskop, dina tanggal 13 boelan Agustus 1925 bakal dipariksa ku Landraad. Kabehna aja 163 djalma. Koemaha poetoesanana oerang toenggoe bae!" (Saudara-saudara kita pada bulan Januari sudah dihina dan dikatakan gila di Sumedang berhubung dalam keributan urusan karcis bioskop, pada tanggal 13, bulan Agustus 1925 akan diperiksa oleh pihak pengadilan. Semuanya berjumlah 163 orang. Bagaimana keputusannya kita tunggu saja!).
Surat Kabar Soerapati muncul setelah kongres PKI dan SR di Sukabumi Tahun 1923. Hal itu sebagaimana yang diterbitkan oleh Patanjala Vol. 8 No. 1 Maret 2016: 1 - 20, Peranan Surat Kabar Soerapati Dalam Perlawanan Intelektual Pribumi Di Jawa Barat Tahun 1923-1925.
Sementara itu, dalam De Sumatra Post, Medan edisi Kamis 20 Agustus 1925 diungkapkan bahwa pada Kamis, 13 Juli 1925, Pengadilan dengan Hakimnya Mr Block, memulai penanganan kasus para terdakwa kasus kerusuhan yang terjadi pada akhir Januari 1925 di Sumedang.
Para terdakwa dari Perhimpunan Sarekat Rakyat di Sumedang, diantaranya Kaih alias Soekamadria sebagai ketua, Oljim sebagai wakil ketua, Theng Djie Som, Odja Maat, Soehada, Majadiredja dan Samdjah sebagai komisaris. Entjoep, Semasa Poetra dan Soekarta sebagai calon komisaris dan Soetaradja sebagai sekretaris serta terdakwa lainnya yang terlibat dalam bentrokan itu.
Kejadian itu terjadi saat para anggota SR meminta kebijakan akan potongan harga tiket karcis untuk menonton bioskop seperti yang diberikan kepada Sarekat Hijau. Namun pengelola bioskop tidak memberikanya.
Hal itu menyulut kemarahan para anggota SR yang berimbas dengan aksi pemblokiran jalan di depan gedung bioskop. Aksi mereka pun sempat dihentikan oleh polisi bahkan Asisten Residen J. van Aalen turun langsung berupaya untuk menghentikan aksi mereka.
Namun bukannya berhenti, aksi itu malah berujung pada kerusuhan antara SR dan Petugas bioskop serta polisi hingga asisten residen Soemedang Mr. J. van Aalen turut terluka di bagian kepalanya.
Semua terdakwa berjumlah 165 orang. Dari jumlah itu 120 orang diantaranya dibebaskan dan semuanya menyangkal ikut terlibat dalam peristiwa itu.
Berdasarkan sumber lainnya, kerusuhan itu menjadi sebuah kerusuhan massal antara SR dan Sarekat Hijau. Pasalnya, teriakan pengelola bioskop telah mengundang masyarakat di sekitar gedung bioskop yang lokasinya tidak jauh dari pasar Sumedang.
Jumlah Sarekat Hijau yang semakin lama semakin banyak akhirnya membuat SR memilih untuk menghentikan kerusuhan seiring dengan bertambahnya pula jumlah anggota polisi yang datang ke lokasi kejadian.
Akibat kejadian itu, SR oleh pemerintah Hindia Belanda dimasukan ke dalam daftar perhimpunan yang harus diawasi gerak geriknya. Sementara Sarekat Hijau diizinkan tetap berkembang karena dianggap dapat bersikap kooperatif terhadap pemerintah.
Penulis Buku Bandung Dipersimpangan Kiri Jalan, Hafidz Azhar menjelaskan bahwa Sarekat Rakyat merupakan organ lain dari PKI yang menitik beratkan pada perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda atas penjajahan yang dilakukannya.
"Meski berideologi Komunis, SR tidak berada di bawah kepemimpinan PKI, Kelompok tersebut mempunyai kepengurusannya sendiri yang menitikberatkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda atas penjajahan yang dilakukannya," terang Hafidz saat dihubungi detikcom, Minggu (3/10/2021).
Sementara Sarekat Hejo (Idjo/Hijau), lanjut Hafidz, Dibentuk oleh kalangan Priyayi untuk mengkonter aksi-aksi yang dilakukan SR maupun sayap organisasi komunis lainnya.
"Sempalan dariSarekatHejo ini beragam, sepertiPamitran yang bergerak di Bandung,Sarekat Pompa diCimahi dan TolakBahlaTowilOemoer (TBTO) di Garut danTasikmalaya. Mereka kerap melakukan aksinya dengan cara meneror bukan hanya terhadap kelompok Komunis, tapi pada kelompok Islam lain seperti Persis danPSI," terangnya.
Simak juga 'Kemenparekraf Godok Skema Pembangkit Geliat Bioskop':
Memanasnya suhu politik lokal di Jawa Barat saat itu, tidak terlepas dari adanya perpecahan atau daya pergerakan di tubuh induknya partai Islam, yakni Central Sarekat Islam (CSI). CSI terpecah menjadi dua ideologi yang bersebrangan yakni SI "Putih" yang berpaham Keislaman dan SI "Merah" berpaham komunisme.
Konflik itu dimulai pada kongres CSI tahun 1921. Saat itu diputuskan tentang perlu adanya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap dua sebagai konter dari pengaruh paham komunis di dalam tubuh CSI.
Sekadar diketahui, kemunculan paham komunis di Indonesia tidak lepas dari perkenalannya Semaun dengan Henk Sneevliet di Surabaya pada 1915. Henk Sneevliet yang tiba di Hindia tahun 1913 untuk kemudian pergi ke Semarang dengan mendirikan serikat buruh ISDV (Indische Social Democratische Vereniging) yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI kala itu.
Singkatnya, dari pertemuan itulah, Semaun yang saat itu telah menjadi sekretaris SI Surabaya menjadikan Sneevliet sebagai mentornya lantaran terpukau dengan jiwa sosialnya yang jauh dari kesan seorang Kolonial. Ia pun turut bergabung menjadi anggota ISDV dan VSTP.
VSTP sendiri merupakan serikat buruh yang diperuntukan bagi orang-orang Eropa yang bekerja di perusahaan kereta api negara (SS) atau kereta api swasta (NIS) dengan basis di Semarang. Sejak kedatangan Sneevliet, perubahan besar di tubuh VSTP terjadi dimana VSTP tidak lagi didominasi oleh orang Eropa saja namun juga oleh pribumi.
Bahkan Semaun yang semula bekerja sebagai juru tulis di SS Surabaya, ditunjuk menjadi propagandis VSTP dan pindah ke Semarang. Bersamaan dengan itu, tidak lama berselang ia pun diangkat menjadi propagandis dan komisaris SI Semarang lalu menjadi Ketua SI Semarang.
Pada Mei 1920, atas perintah Pusat, ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis di Hindia. Partai itu diketuai oleh Semaun sendiri dan Darsono wakilnya. Dengan begitu Semaun bukan saja merangkap dua keanggotaan tapi juga sebagai aktor penting di dalam tubuh SI Semarang.
Sekedar diketahui pada sekitar tahun 1920-1923 setiap anggota partai bisa masuk secara rangkap menjadi anggota partai lainnya. Seperti misalnya, anggota Boedi Oetmo (BO) bisa masuk juga menjadi anggota Insulinde dan seterusnya seperti SI, dan ISDP (Partai Sosial Demokrat Hindia).
Hal itu diungkapkan dalam buku Zaman Bergerak Radikalisme di Jawa 1912-1926 (Takashi Shiraishi : 2005).
Pada tanggal 6 -10 Oktober 1921, Abdul Muis dan Agus Salim yang memimpin kongres CSI ke-6 terpaksa mendepak Semaun dan Darsono dari keanggotaan CSI lantaran terlibat dalam keanggotaan ISDV yang telah berubah nama menjadi Partai Komunis di Hindia.
Penolakan masuknya paham komunis dalam tubuh CSI ditegaskan dalam Kongres CSI di Madiun 17-23 Februari 1923 yang dihadiri oleh 117 delegasi dari 40 SI-SI Lokal. Kongres itu turut pula dihadiri oleh delegasi dari SI Semarang, Madiun, Nganjuk, Cepu dan Bandung. Kongres tersebut bertujuan untuk mengusulkan serta pembentukan dari CSI menjadi PSI (Partai Sarekat Islam) sekaligus mengenalkan akan disiplin dan aturan partai.
Hasil kongres menyepakati untuk struktur partai terdiri dari Tjokroaminoto sebagai Ketua, Sjahboedin Latif dan Soerjosasmojo sebagai Sekretaris dan Fachrodin sebagai Bendahara. Selain itu, partai juga menyepakati bahwa PSI menolak terhadap paham komunis.
Menanggapi Kongres CSI di Madiun, Semaun menggelar Kongres tandingan berupa kongres PKI dan SI Merah (SI berideologi komunis) di Bandung awal Maret 1923. Dalam kongres itu, 16 cabang PKI dan 15 dari 20 SI Merah mengirimkan delegasinya.
Dua hal terpenting dalam kongres itu, pertama lahirnya PKI sebagai Partai. Kedua, Semaun terang-terangan menyatakan sikap bersebrangannya dengan PSI bentukan dari CSI.
Pada Juni 1924, pemimpin pusat PKI mengadakan kongres PKI di Jakarta. Dalam kongres itu diketahui PKI telah memiliki 32 cabang dengan 28 organ sayap dari Sarekat Rakjat dan SI Merah.
Maraknya perkembangan PKI, membuat was-was Pengganti Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Linburg Stirum, yakni Dirk Fock (1921-1926). Hal itu lantaran, sikap radikal yang ditunjukan oleh tokoh-tokoh di dalamnya.
Dirk Fork menilai sikap tersebut akan menghalangi jalan bisnis bagi pemerintah Hindia-Belanda di tanah jajahannya. Itu dibuktikannya, saat membuang Semaun ke Belanda pada Agustus 1923 pasca memimpin aksi mogok kerja pada perusahaan kereta api pada Mei 1923.
Dengan kebijakannya, ia pun memanfaatkan moment itu dengan membentuk Sarekat-sarekat lain, salah satunya Sarekat Hijau. Hal itu sebagai konter untuk meredam pergerakan SR yang dianggap sebagai bagian dari PKI.
Melalui penguasa lokal dan propagandanya, Sarekat Hijau menjadi lawan bagi Sarekat Rakyat yang telah berkembang di berbagai daerah. Secara sempurna, Pemerintah Hindia Belanda memainkan politik adu dombanya di tengah pencarian jatidiri dan ideologi bangsa pribumi kala itu.