Program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan) adalah upaya Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi persoalan sampah. Lalu seperti apa program itu berjalan setelah kurang lebih tiga tahun diluncurkan?
detikcom mencoba menyusuri sejumlah sudut Kota Bandung untuk melihat timbulan sampah. Mulai dari Balai Kota Bandung hingga jalan-jalan protokol.
Di Balai Kota Bandung, detikcom melihat sejumlah tempat sampah khusus disimpan di beberapa titik. Tempat sampah itu memiliki tiga tempat untuk menampung sampah organik, anorganik dan sampah B3.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masing tempat sampah itu memiliki warna berbeda. Warna hijau untuk sampah organik, biru muda anorganik dan oranye sampah B3. Selain itu terdapat sejumlah tulisan mengkampanyekan untuk memilah sampah. Namun, saat melihat isi dari tempat sampah tersebut tampak sampah organik dan anorganik masih tercampur
Dilihat dari dekat sampah bekas kemasan makanan, seperti kertas dan plastik dibuang ke tempat sampah yang berwarna hijau. Seperti diketahui, tempat sampah berwarna hijau itu digunakan untuk sampah organik.
Selain itu, ada penutup tempat sampah yang dipenuhi bekas puntung rokok. Penutup tempat sampah tersebut kerap digunakan untuk mematikan rokok, tak hanya satu seperti di pintu belakang Gedung BPPD tiga penutup sampah tematik itu dipenuhi bekas puntung rokok.
Kemudian detikcom melihat kondisi di kawasan kota lainnya. Jika di balai kota dipenuhi banyak tempat sampah, hal itu berbanding terbalik dengan kondisi di pemukiman warga atau jalan protokol di Kota Bandung. Dari pengamatan tidak banyak ditemukan tempat sampah tematik itu.
Seperti di Jalan Ibrahim Adji, sampah beragam jenis menumpuk di satu titik. Nantinya sampah itu bakal diangkut oleh petugas kebersihan untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS).
Hal serupa juga terlihat di Jalan Guntur Sari Wetan, Turangga, Lengkong, Buahbatu. Sampah beragam jenis menumpu di depan lahan milih PT KAI. Meski sudah ada spanduk imbauan, titik tersebut masih dipenuhi sampah. Tidak ada yang tahu siapa yang membuang sampah di titik tersebut.
"Kalau saya sih ngumpulin di rumah, nanti ada yang ngambil," kata salah satu warga Esti yang ditemui tidak jauh dari tempat pembuangan sampah liar itu.
detikcom mencoba menyusuri jalan yang ada di Kelurahan Turangga tersebut. Tidak ditemukan tempat sampah di jalan itu. Tempat sampah hanya ditemukan di perkantoran atau mini market yang ada di jalan tersebut. Sampah warga dikumpulkan di salah satu bak sampah dan nantinya diangkut petugas kebersihan.
"Enggak ada (tempat sampah) dikumpulkan di sini (bak sampah), dari sini langsung dibawa ke TPS," ujar salah satu petugas kebersihan.
Tak hanya di Jalan Turangga, pemandangan serupa juga terlihat di Jalan Lodaya. Sampah dikumpulkan di satu titik, lalu diangkut petugas sampah.
Simak juga 'Wujud Insinerator Jepang yang Dikembangkan Pemkot Bandung-UPI':
Selain di titik itu, detikcom juga melihat langsung ke jalan protokol dan pemukiman warga di Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik. Wilayah tersebut terlihat bersih, seperti diketahui Kelurahan Sukamiskin menjadi salah satu percontohan kawasan bebas sampah (KBS) di Kota Bandung.
Di kawasan RW 06 detikcom menemui petugas yang menggunakan sepeda motor beroda tiga yang sedang mengangkut sampah. "Lagi memilah sampah, ini yang organiknya dipisahkan," kata petugas kebersihan RW 06 Darus.
Meski Kecamatan Arcamanik ditetapkan sebagai KBS, masih ada saja warga yang tidak melakukan pemilihan sampah sesuai program Kang Pisman.
"Ada yang sudah dipisah-pisahkan, tapi ada juga yang masih disatukan, nah oleh kita pisahkan. Buat sampah organik ini nanti digiling buat pakan magot dan yang anorganiknya bisa dijual," ujar Darus.
Seperti diketahui, Program Kang Pisman akan terelaisasi dengan baik jika diimplementasikan dengan baik dan didukung oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pemukiman.
Salah satu RW yakni RW 01 Simpang Sari, Kelurahan Sukamiskin cukup baik dalam menjalankan program yang digagas Wali Kota Bandung Oded M Danial dan Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana ini.
"Kang Pisman di RW 01 Simpang Sari sudah berjalan sesuai dengan yang dikampanyekan Pak Wal dan Pak Wakil. Alhamdulillah strategi yang dilakukan Pak Wali dan Pak Wakil melalui DLHK sudah kami lakukan dan dilaksanakan setiap harinya, adapun cara dan netidenya sesuai yang diamankan sesuai singkatan Kang Pisman Kurangi Pisahkan dan Manfaatkan," kata Ketua RW 01 Simpangsari Wawan Setiawan.
Pihaknya juga terus mensosialisasikan program ini kepada warga, agar sampah habis sejak dari sumber dan tidak banyak dibuang.
"Kurangi kita imbau dari sisi perspektif sisa makanan, kurangi sisa makan itu, artinya kalau makan satu piring habiskan lah ya. Imbauan pun terus kita laksanakan. Pisahkan, juga mengikuti metode para pendamping DLHK, salah satu contoh kita simpan ember di tiap empat kepala keluarga satu ember, itu khusus untuk organik adapun di sini ada sampah berantakan itu disortir lagi karena enggak semua warga, karenakan tidak mudah merubah mindset itu, jadi intinya saya sudah amanatkan ke teman-teman di sini jangan sampai buang sampah organik ke TPS," ungkapnya.
Setiap harinya, petugas kebersihan di RW 01 Simpangsari dapat mengangkut sampah sebanyakn4,5 kubik atau sekitar 400 kilogram perhari.
"Total tiga triseda (motor beroda tiga), itu kapasitas 4,5 kubik atau katakanlah 400 kilogram sampah organiknya mencapai 150 kilogram, beda sebelum pandemi bisa sampai 250 kilogram. Anorganik itu bisa mencapai 75-80 kilogram itu campur ya, ada dus, kresek dan lain. Residu hampir 50 persen, sebetulnya yang benar-benar residu itu tidak ada. Itu kaya plastik basah, plastik bekas bungkus bumbu karena itu tidak layak jual," jelasnya.
Wawan menyebut, jika ditunjang dengan alat pencacah plastik, pembuangan residu ke TPA pun akan lebih sedikit. Karena belum ada mesin pencacah plastik pihaknya membuang residu tersebut ke TPA.
"Kemarin ketemu sama lurah, kalau misalkan saya diberi mesin pencacah plastik untuk mengolah residu yang 250 kilogram itu bisa saya olah lagi, di sini belum punya mesin," jelasnya.
Wawan berujar, untuk sampah organik pihaknya mengaku kekurangan. Seperti diketahui, magot yang diproduksi di RW 01 dijual untuk kebutuhan pakan ternak hingga ikan lele.
"Betul, sekarang itu kita kekurangan sampah organik akhirnya dari 17 RW ini kadang lima RW dikesinikan, kadang semuanya dikesinikan sampah organiknya. Sampahnya itu minimal kirim 400-500 kilogram, masih banyak warga luar dibandingkan warga sini karena sedikit warganya," ujarnya.
detikcom langsung melihat pengolahan sampah di RW 01, dari mulai pengumpulan sampah dari warga, pemilahan karena ada sampah yang bercampur dan pengelolaan sampah organik jadi bubur sampah untuk pakan magot.
Sebelum diberikan kepada magot, bubur sampah itu dipermentasi selama tiga hari agar kadar airnya menurun. Air tersebut bisa digunakan sebagai pupuk. Selain itu, kasgot atau kotoran magot itu juga bisa digunakan sebagai media tanam dan magotnya sendiri bisa dijual dan menghasilkan penghasilan dan penghasilannya untuk memberi upah 8 karyawan di tempat pengolahan sampah tersebut.
Wawan menyebut, suplai sampah organik masih kurang karena kebutuhan pakan untuk magot cukup tinggi.
"Kalau saya perhatikan per hari satu kilogram magot itu, membutuhkan pakan 10 kilogram bubur sampah yang sudah digiling, pagi kita kasih pakan 3 kilo, siang 3 kilo, sore 4 kilo karena jelang malam," ujarnya.
Sementara untuk hasil panen magot ini sendiri tergantung siklus. Menurut Wawan sudah banyak yang berlangangan membeli magot di RW 01.
"Kalau hasil tergantung siklus. Normal perhari jika tidak dibeli, harian 10 kilogram, per 3 hari 30 kilogram, mereka beli untuk pakan ikan dan ternak. Dipanen bisa 60 kilogram semuanya," paparnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan pasar, pihaknya juga harus terus memproduksi magot tersebut. Karena magot itu harus terus berkembang biak. Saking banyaknya permintaan pasar pihaknya mengaku kelayakan, sehingga harus meluas tempat produksi magotnya.
Wawan mengaku, setiap bulan pihaknya bisa mendapatkan Rp 6-6,5 juta dari pengelolaan sampah ini. Uang tersebut didapat dari penjualan magot, kasgot, sampah anorganik, cocopeat dan cocofiber yang berasal dari.kulit kelapa.yang dikumpulkan dari pedagang di wilayah tersebut dan penjualan ternak yang dipelihara di tempat pengolahan sampah tersebut.
"Salah satunya eksplorasi, rencananya ruangan ini (ruang tamu) akan digunakan digunakan tempat magot, artinya perluasan tempat produksi, sudah terbayang sekarang tempatnya segimana, untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan perputaran siklus," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga membutuhkan dukungan prasarana. Wawan berharap, Pemkot Bandung dapat memfasilitasi prasarana yang dibutuhkan delapan orang di tempat pengelolaan sampah ini.
"Melihat di luar negeri tukang sampah gunakan pakaian keren, APD siap dan sarana prasarana. Saran siap, mungkin intensif nya juga harus lebih. Hapran saya prasarana, kaya itu triseda sudah mogok selama seminggu, minta ke DLHK nunggu tahun anggaran, ini triseda dari tahun 2015 , ini salah satu alat kita untuk mempercepat pekerjaan," ucapnya.
"Kedua minta dan mengharapkan perhatian pemerintah kepada para pegawai, supaya mereka lebih semangat lagi. Dari delapan cuma dua orang yang dapat upah, tapi itu juga di bawah UMK. Intinya semuanya harus dapat, biar mereka fokus biar ada yang ditunggu setiap bulannya, biarkan penghasilan di sini pemasukan ekstra. Kenapa? Mereka bekerja dengan resiko tinggi, terutama resiko kesehatan, perhatikanlah intensif nya jelas," pungkasnya.