Aksi protes warnai HUT ke-388 Kabupaten Karawang. Sejumlah spanduk bernada protes terkait program bantuan sosial 'Karawang Cerdas' hiasi beberapa titik di Karawang.
Berdasarkan informasi ada tiga spanduk yang dibentangkan oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Karawang (Gemak). Mereka sengaja memasang spanduk-spanduk tersebut untuk menyuarakan kekecewaannya.
"Ada tiga spanduk yang kami pasang bertuliskan 'Karawang Cerdas, Ada? Ingin Cerdas Makan Baso' dan 'Menagih Janji Politik Cellica-Aep #Evaluasi1Periode' serta 'Seruan Aksi Evaluasi #388'," kata Koordinator Gemak Bayu Ginting saat dihubungi melalui aplikasi WhatsApp, Selasa (14/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengaku kecewa dengan pelaksanaan program bantuan sosial 'Karawang Cerdas' yang sudah berjalan bertahun-tahun. Namun, sayangnya program tersebut selalu jadi temuan audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
"Seperti diketahui, audit BPK tahun 2019 dan tahun 2020 menemukan berbagai pelanggaran dalam program Karawang Cerdas. Program pemberian beasiswa yang menyasar kalangan tidak mampu namun berprestasi ini banyak masalah. Mulai dari daftar penerima ganda, salah sasaran, kurangnya sosialisasi, hingga rekening mengendap di bank," ucapnya.
Sementara itu, ia membandingkan program ini dengan bagi-bagi bakso gratis yang digagas pemerintah sebagai bagian dari perayaan HUT Karawang.
"Selamat hari jadi Kabupaten Karawang yang ke-388. Tentu hari ini jadi peringatan atas semua pencapaian yang sudah diraih oleh rakyat Karawang. Semua pencapaian dan kemajuan tersebut merupakan hasil kerja keras rakyat Karawang. Semua kemajuan dan perkembangan sudahkah rakyat Karawang rasakan?" ucapnya.
Melalui spanduk itu juga, ia mengajak masyarakat Karawang untuk menagih janji politik Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. "Kita harus sadari, bahwa Karawang tidak sedang baik-baik saja, seperti di sektor pendidikan, lingkungan hidup, dan isu sosial. Banyak juga dugaan dan indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme lainnya," katanya.
Mahasiswa berjanji, aksi yang mereka lakukan tidak berhenti sampai di sini. Ke depan mereka akan membuat aksi yang lebih besar lagi.
"Ini hanya sebuah spanduk, dan nantinya kami akan melakukan aksi massa di jalan dengan lebih banyak lagi, agar menjadi perhatian bagi pemerintah," katanya.
Di temui terpisah, Direktur Bidang Kajian pada KBC (Karawang Budgeting Control) Beno menuturkan hasil kajian KBC merujuk pada hasil audit BPK pada tahun 2019 dan 2020, terungkap bahwa tim pelaksana dan tim verifikasi beasiswa Karawang Cerdas tidak bekerja maksimal.
Tahun 2019, BPK menemukan 147 penerima beasiswa yang namanya tercantum dua kali. Tahun 2020, kesalahan itu kembali terulang, terdapat 14 orang yang namanya tercantum dua kali sebagai penerima beasiswa. Kesalahan itu tidak akan terulang bila panitia dan tim verifikasi bekerja maksimal.
"Maka saya sampaikan terkait penerima beasiswa ganda ini, tim panitia pelaksana dan tim verifikasi tidak cermat. Seharusnya begitu kejadian di 2019, yang angkanya begitu besar, di 2020 harusnya lebih selektif dalam input data," kata Beno.
Kasus penerima beasiswa ganda, kata Beno, bukan permasalahan sederhana. Sebab menyangkut kinerja dan integritas tim verifikasi.
"Karena kalau lihat dari data realisasi anggaran beasiswa SMA-SMK dan perguruan tinggi, terjadi peningkatan realisasi. Dari tahun 2019 sebesar Rp 19,4 miliar, di tahun 2020 jadi Rp 29 miliar. Karena itu kami pertanyakan kinerja tim pelaksana dan tim verifikasi. Uang rakyat sebesar ini harus dialokasikan secara efektif, jangan sampai temuan di audit BPK terjadi lagi," ungkapnya.
Bila ditotal, 147 penerima beasiswa yang namanya ganda ini menerima anggaran Rp 205 juta. Ratusan juta rupiah ini direalisasikan dua kali kepada 147 penerima yang sama.
Kesalahan panitia beasiswa Karawang Cerdas bukan itu saja. Dari audit BPK tahun 2020, ditemukan fakta ada mahasiswa yang menggunakan uang beasiswa untuk membeli ponsel dan emas. Padahal, beasiswa Karawang Cerdas diperuntukan untuk pelajar tidak mampu yang berprestasi dan cerdas.
"Sementara di sisi lain masih banyak mahasiswa kita yang kondisi ekonominya butuh bantuan dari pemerintah," ungkapnya.
Sejatinya, calon penerima beasiswa mestinya diberi pemahaman mengenai penggunaan uang beasiswa.
"Si penerima bantuan ini harus tahu bahwa beasiswa ini merupakan kepedulian pemerintah terhadap warganya yang kurang mampu namun berprestasi. Harusnya ini disosialisasikan. Karena ketidaktahuan peruntukan uang beasiswa, sehingga terjadi kasus penerima beasiswa memakai uang beasiswa untuk beli ponsel dan emas," tegasnya.
Ke depan, ia juga meminta tim pelaksana harus lebih selektif dalam menentukan penerima bantuan.
"Jangan sampai tidak tepat sasaran, yang tercoreng kan bupati. Padahal bupati sudah mengeluarkan pedoman petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis," katanya.
Dari data yang dipaparkannya, pada tahun 2019, hasil audit BPK mencatat 68 penerima beasiswa yang tercantum dalam daftar CPCL (Calon Penerima Calon Lokasi) namun tidak tercantum dalam daftar realisasi. Ada dugaan 68 nama ini diganti dengan nama lain.
"Tahun 2020, panitia melakukan kesalahan lebih fatal. Ada 10 orang yang bukan pelajar atau sudah tidak lagi sekolah tapi tercantum sebagai penerima bantuan. Di tahun yang sama, ada satu penerima beasiswa yang namanya tidak diusulkan sekolah. Padahal usulan dari sekolah adalah salah satu yang wajib dikantongi calon penerima beasiswa. Kesalahan panitia juga bertumpuk ketika BPK menemukan 13 nama penerima beasiswa yang tidak mengumpulkan berkas," jelasnya kembali.
Tahun 2020, BPK menemukan Rp 571.400.000 uang beasiswa mengendap di bank. 5.714 orang penerima beasiswa tidak bisa mengambil semua uang beasiswa dari rekening masing-masing. Masing-masing penerima harus menyisakan RP 100 ribu di rekeningnya.
"Ini membuktikan ketidaksiapan panitia dalam menentukan mekanisme pengiriman beasiswa ke nomor rekening. Rp 100 ribu kan jumlahnya lumayan besar, biasanya kan limit terendah di rekening itu Rp 50 ribu, bukan Rp 100 ribu. Seharusnya ini dievaluasi oleh tim pelaksana kenapa uang beasiswa tidak bisa diambil semua sampai mengendap," sambung Beno.
"Kesalahan-kesalahan ini menjadi bahan dorongan buat kami untuk mendalami realisasi program Karawang Cerdas," ujar Beno.
KBC mencurigai bisa saja permasalahan di lapangan lebih besar dan angkanya bisa jadi lebih membengkak. Maka dari itu KBC akan melakukan public review atas beasiswa Karawang Cerdas.
"Justru dengan hasil audit BPK ini kami jadi terdorong untuk melakukan public review. Ada dua objek yang akan kami kritisi. Pertama adalah akuntabilitas, kedua adalah efektivitas bantuan. Apakah ini sudah tepat sasaran atau belum, karena ini programnya untuk menunjang pendidikan bagi masyarakat yang kesulitan secara ekonomi. Jangan sampai diterima oleh orang yang ekonominya mapan,"tandasnya.
Lihat juga video 'Vaksinasi Keluarga di Karawang Berkerumun, Warga Antusias':
Refleksi HUT ke-388 Karawang
Sementara itu, Ketua Umum LSM Lodaya Nace Permana mengungkapkan di HUT ke-388 Karawang harusnya menjadi refleksi bagi pemilik kebijakan untuk lebih merespons apa yang dirasakan masyarakat.
"Banyak PR (Pekerjaan Rumah) yang harus dilakukan oleh para pejabat di Karawang, dalam mengelola pembangunannya. Hingga saat ini tidak tampak kemajuan itu dirasakan oleh masyarakat," kata Nace selaku aktivis, dan pegiat tarian Bedog Lubuk saat diwawancarai di kantornya, Selasa (14/9/2021).
Beberapa sektor yang dinilai jauh dari kemajuan, yakni pendidikan, kesejahteraan, kebudayaan, kesehatan dan pengelolaan anggaran.
"Saya menilai dari apa yang tampak di lapangan, juga dari hasil aspirasi dari masyarakat, seperti halnya sektor pendidikan yang saat ini miris sekali, apalagi di saat massa pandemi ini, siswa hilang semangat belajarnya, juga ketimpangan infrastruktur pendidikan antara kota, dan desa, banyak sekolah yang tidak layak ditempati dan kehilangan, di kota terlihat maju, namun nyatanya di pedesaan pendidikan seperti tidak diprioritaskan, hingga pendidikan tidak terlihat merata," katanya.
Di sektor kesejahteraan, masyarakat miskin per tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 8,26 persen masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Per tahun 2020, Kabupaten Karawang dihuni 2,44 juta jiwa. 2,44 juta dari 8,26 persen berarti 195 ribu jiwa di Karawang yang berada di bawah garis kemiskinan.
"Hal sangat terlihat itu masih ada gizi buruk yang terjadi di Karawang, di mana faktor kemiskinan menjadi hal utama, hingga akses kesehatan sulit didapatkan masyarakat miskin," terangnya.
Di sektor kebudayaan, diakuinya sangat memprihatinkan. Terutama nasib pegiat seni budaya, dan nilai-nilai kebudayaan.
"Kalau ditanya, apa identitas Karawang yang mencuat, pasti jawabannya akan membingungkan, dan paling akan menjawab kota industri, dan bukan lagi kota lumbung padi, dan kenyataannya nilai kebudayaan sebagai identitas sebuah wilayah meluntur, itu pula dirasakan para seniman kebudayaan yang hidupnya kini serba susah, seperti tokoh maestro kendang Almarhum Haji Suwanda, tokoh topeng Banjet Ali Saban, dan pencipta lagu musik Sunda yang banyak di Karawang namun tidak ada perhatian dari pemerintah," terangnya.
Sementara di sektor pengelolaan anggaran, ia juga menilai pejabat minim ide. "Sekelas Karawang yang memiliki banyak kawasan industri tapi selalu bermasalah dari ketersediaan anggaran, dan pengelolaannya, karena memang nyatanya pejabat itu minim ide, apalagi di saat kepemimpinan Bupati Cellica, tidak program unggulan terlihat, adapun banyak program hanya seremonial, atau acara gunting pita saja, kalau ditanya pasti Karawang minim pendapatan," terangnya.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Ketua Umum Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Yazid Alfaizun mengatakan banyak hal yang harus diperbaiki dari sektor lingkungan hidup.
"Setiap tahun, kejadian kerusakan lingkungan hidup selalu terjadi di Karawang, dan terus terulang tanpa ada penyelesaian, dan rekam jejaknya pun bisa dilihat di berbagai pemberitaan di media," kata Yazid saat dihubungi melalui telepon selular.
Dari rekam jejak kerusakan ekologis, pencemaran sungai, pertambangan, alih fungsi lahan, kebocoran gas beracun dan minyak di pesisir laut selalu terjadi, dan penyelesaiannya tidak pernah ada.
"Pencemaran sungai Citarum selalu ada, dan penegakan hukumnya entah sampai mana, pertambangan di Karawang selatan masih masif terjadi namun pemerintah seperti tutup mata, kemudian tahun ini ada kebocoran gas terjadi lagi, dan lagi-lagi jaminan keselamatan warga juga dipertanyakan seperti apa, hingga saat ini tidak ada kejelasan, selanjutnya program pemulihan ekologis di pesisir Karawang pasca tumpahan minyak sepertinya tidak menjadi hal prioritas tanggungjawab," ungkapnya.
Peristiwa di atas diakuinya, bukan sekadar opini semata, karena faktanya terjadi di Karawang. Dampaknya, kebencanaan ekologis marak terjadi dan intensitasnya semakin meluas.
"Seperti banjir saja semakin meluas daerah yang terdampak nya, juga adaptasi perubahan iklim tidak terlihat dari upaya pemerintah," jelasnya.
Oleh karenanya, suistanable development (pembangunan berkelanjutan) harus menjadi fokus utama dalam pembangunan di Karawang.
"Kita memang butuh investasi masuk, namun ingat bahwa investasi tetap harus mendahulukan kelestarian alam, agar keberlangsungan ekosistem tetap berjalan, jangan sampai terlihat maju namun rapuh," ujarnya.