Bagi detikers yang berkunjung ke Kabupaten Sumedang atau tepatnya ke Kampung Ciumpleng, Desa Cinangsi, Kecamatan Situ Mekar terdapat sebuah tempat bernama Makam Monyet. Sesuai namanya, tempat tersebut dikenal warga sebagai tempat berkumpulnya kera ekor panjang.
Namun bukan itu saja, banyak warga yang menganggap bahwa kera yang ada merupakan kera jadi-jadian. Anggapan itu dikaitkan dengan keberadaan sebuah bangunan serupa joglo di dalam hutan, yang menurut warga dijadikan sebagai lokasi pesugihan.
Saat detikcom mencoba menyambangi lokasi tersebut pada Sabtu (4/9/2021) pagi, tidak seekor kera pun yang tampak memperlihatkan wujudnya. Bahkan kunjungan ini adalah kunjungan kali kedua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penasaran dengan cerita itu, detikcom pun coba bertanya kepada warga sekitar, tentang lokasi persis tempat munculnya kera-kera tersebut.
"Disana, dekat persimpangan jalan, itu mah da monyet jadi-jadian (itu kan monyet jadi-jadian," ujar warga setempat.
Lokasi yang ditunjukan warga tersebut merupakan sebuah hutan dengan pepohonan besar yang berada diantara perkampungan. Di dalam hutan tersebut terdapat sebuah joglo kecil yang konon dijadikan sebagai tempat pesugihan, dimana lokasinya dekat dengan yang dikenal warga sebagai Sirah Cipaku.
Dari informasi yang detikcom himpun, Sirah Cipaku konon merupakan sumber mata air bagi aliran sungai Cipaku. Sirah sendiri dalam bahasa Sunda yang berarti Kepala.
Maman (62) warga sekitar membenarkan terkait anggapan kebanyakan warga akan keberadaan kera-kera tersebut. Namun demikian, ia pun tidak begitu paham akan asal usul munculnya anggapan tersebut.
"Memang betul, kebanyakan warga menganggap itu kera jadi-jadian," ujarnya kepada detikcom.
Maman mengatakan kera-kera itu tidak bisa diprediksi kemunculannya, kadang muncul tiap hari, kadang juga tidak. Namun demikian, ia tidak mempersoalkan akan hal itu. Baginya, asalkan tidak sampai mengganggu tanaman di pekarangan rumahnya.
"Iya kalau muncul ke depan rumah kan suka ngambilin jambu air, atau buah-buahan apa saja yang ditanam di depan rumah bisa habis dalam sekejap, ya kalau masuk lingkungan rumah paling saya usir ditakut takuti pake sebilah bambu," ungkapnya.
Saat ditanya soal joglo yang berada di tengah hutan, ia pun tidak menampik bahwa tempat itu sering dikunjungi oleh orang-orang dari daerah lain. Menurut cerita orang, kata dia, orang-orang yang datang bertujuan untuk meminta berkah.
"Banyak yang datang dari mana-mana, katanya pada minta cepat kaya, atau dulu warga sekitar sini kalau mau hajatan harus nyekar dulu ke tempat itu, kalau tidak nanti hajatannya gagal, tapi soal hajatan itu dulu,kalau sekarang ada yang melaksanakan ada yang tidak," terangnya.
Cerita lainnya, kata dia, kera-kera itu jadi sering muncul ke tengah warga pasca terjadinya peristiwa pergerakan tanah di kawasan itu sekitar tahun 2000-an.
"Sebelumnya jarang muncul tapi setelah ada kejadian tanah amblas, kera-kera itu jadi sering muncul," ujarnya.
Kepala Desa Cinangsi Omod Sumantri (57) menjelaskan bahwa anggapan itu hanyalah mitos semata. Pasalnya, tempat tersebut memang habitatnya bagi kera ekor panjang.
"Kenapa monyet betah di tempat itu, karena pohonnya besar-besar, rimbun serta teduh, adapun monyet suka mendekat ke rumah warga karena habitatnya emang dekat dengan rumah warga," ungkap Omod yang sudah tinggal sejak lama di kampung tersebut.
Ia pun menceritakan pengalaman semasa kecil bersama temannya yang gemar berburu kera kala itu. Menurutnya, jika kera-kera itu jadi-jadian mungkin dirinya sudah didatangi oleh yang melakukan pesugihan karena telah menembak mati satu ekor kera kala itu.
"Kalau bener jadi-jadian mungkin saya sudah didatangi sama yang punya monyet itu, dan awalnya teman saya menganggap monyetnya menghilang setelah berhasil menembaknya, padahal monyetnya ada dalam keadaan sudah mati di semak-semak," terangnya.
Terkait kera yang berkalung, lanjut dia, cerita itu bermula dari salah seorang warganya yang menemukan anak kera di jalanan. Kemudian karena merasa kasihan, warga itu pun mengurusnya dan memakaikan sebuah kalung di lehernya.
"Lantas setelah gede kera itu dilepas dan saat warga melihat monyet itu, dianggapnya sebagai monyet jadi-jadian padahal itu kalung dipasang oleh warga juga," ujarnya.
Sementara untuk tempat yang dianggap warga sebagai tempat pesugihan, dijelaskan Omod, berdasarkan cerita lisan dari buyut-buyutnya, tempat itu dulunya atau sekitar 1900 - sekian adalah kawasan tempat gembalaan sapi.
Kisahnya berawal saat seorang penggembala kehilangan seekor sapinya saat hendak pulang kandang. Warga yang turut mencari sapi tersebut menemukannya di lokasi yang sekarang dianggap oleh warga sebagai tempat pesugihan.
Karena merasa bahagia sapinya ketemu kembali, warga pun langsung menyembelihnya dan menancapkan sebuah batu sebagai monumen perayaan di lokasi tersebut.
"Nah entah mengapa batu dan lokasi itu sekarang dijadikan tempat mencari berkah oleh orang-orang dari luar, saya juga tidak tahu, padahal menurut buyut-buyut saya seperti itu ceritanya," terang dia.
Kendati demikian, kata dia, kawasan di lokasi tersebut sepengetahuan dia memang sebagai petilasan Prabu Siliwangi. Akan tetapi, bukan sebagai tempat untuk meminta sesuatu agar jadi kaya mendadak dan lain sebagainya.
"Jadi untuk monyet jadi-jadian, saya tegaskan itu mitos, adapun tempat yang banyak didatangi orang-orang dari luar saat ini begitulah cerita menurut buyut-buyut saya tentang asal usul tempat itu, mungkin sekarang jadi ladang bisnis, saya tidak tahu," pungkasnya.