Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat mengingatkan, agar pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak menjadi bumerang bagi pengendalian COVID-19. Penerapan protokol kesehatan tetap wajib dilaksanakan.
"Walau sekarang sudah bisa dilonggarkan, PPKM levelnya turun katakan seperti itu, namun bagaimana pun kita belum aman. Salah satunya positivity rate yang masih tinggi, di atas batas WHO yang 5 persen. Masih belum aman, sehingga ini harus diwaspadai jangan sampai lengah sehingga kurva (kasus COVID-19) naik lagi," ujar Eka saat dihubungi detikcom, Selasa (31/8/2021).
Eka mengatakan, saat ini tidak ada cara lain agar terbebas dari pandemi selain menerapkan protokol 5M yaitu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas; seraya menanti progres vaksinasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana caranya tidak ada jalan lain, prokes harus betul-betul ditegakkan di tengah masyarakat. Itu yang mencegah kita, jangan sampai lengah," katanya.
Ia menjelaskan, sejumlah negara yang telah mendekrlarasikan berhasil menanggulangi COVID-19 malah kelimpungan karena penduduknya mulai abai prokes. "PPKM boleh dilonggarkan, prokes tidak boleh longgar," ujarnya.
"COVID-19 ini penyakit kerumunan, penyakit yang muncul dari mobilitas orang dan kita tahu keberhasilan negara lain sampai bisa bebas tidak pakai masker salah satunya adalah membatasi mobilitas orang ke tempat lain, kuncinya di situ, sehingga seperti di Brisbane, New Zealand orang yang mau masuk dan keluar sangat ketat," kata Eka.
"Kami dari IDI sepakat bahwa PPKM boleh longgar, tapi prokes tidak boleh dilonggarkan," tegas Eka.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengindikasikan masih banyak kasus Corona yang belum terdeteksi. Pakar epidemiologi mengingatkan kurangnya deteksi dini kasus Corona dapat meningkatkan angka kematian hingga lonjakan kasus Corona.
"Masih sangat banyak kasus yang tidak terdeteksi dan sekali lagi test positivity rate kita mau 2 tahun kita masih selalu di atas 10 persen, dan jangankan lebih dari setahun ya, sebulan saja test positivity rate itu dampaknya luar biasa pada kasus di masyarakat dan pada kematian," kata epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, kepada wartawan, Jumat (27/8/2021).
Menurut Dicky, deteksi dini kasus Corona di Indonesia masih minim. Bahkan, dia menyebut testing Corona saat ini cenderung menurun.
"Terakhir kemarin yang diperiksa tanggal 26 Agustus 120 ribuan yang diperiksa dengan test positivity rate totalnya di 12 persen. Bahkan kalau lihat PCR saja test positivity rate mendekati 31% itu sangat tinggi, berapapun di atas 10% pun artinya tidak terkendali pandemi," jelasnya.
Berbicara penurunan kasus, kata Dicky, juga harus disertai dengan positivity rate yang juga menurun. Dicky mengatakan kasus Corona dikatakan turun jika positivity rate tes Corona mulai rendah.
"Jadi kalau bicara penurunan di tengah test positivity rate yang tinggi ya tidak valid, jelas tidak valid, jadi argumentasinya nggak kuat, akhirnya ini berpengaruh pada validitas data lainnya, dan angka kematian, dan sekali lagi di tengah angka kematian yang ini tinggi loh," kata dia.
(yum/mud)