Tindakan aparat yang represif dengan menghapus mural bernada kritikan di sejumlah daerah di Indonesia mendapatkan sorotan dari budayawan asal Bandung, Hawe Setiawan. Ia menyayangkan aksi aparat tersebut, sebab ungkapan dari gambar mural yang bermunculan merupakan wujud dari suara orang banyak.
"Menurut saya mural adalah suara moral. Hubungan keduanya dekat sekali, karena tradisinya dari dulu tembok atau dinding sudah dibuat sebagai medium untuk pencatatan, untuk penyampaian gagasan pikiran. Dari dulu, tembok itu apalagi tembok di ruang publik, kalau bukan buat dijebol, ya buat digambari. Facebook juga pakai istilah wall ya," ujar Hawe saat dihubungi detikcom, Jumat (27/8/2021).
Berkaca dari sejarahnya, kata Hawe, mural biasanya digunakan oleh individu atau sekelompok orang yang tak memiliki saluran komunikasi yang mapan, namun ingin menyampaikan gagasan atau opini mereka. Menurutnya, mural-mural yang muncul dan bernada kritikan atau realitas wajar saja muncul apalagi di tengah pandemi seperti ini.
"Kalau sekarang banyak ungkapan di dalam mural, saya kira hal yang wajar atau lumrah karena banyak orang kesusahan dan banyak orang mengungkapkan kesusahannya di ruang publik," kata Hawe.
Sudah jadi rahasia umum jika mungkin ada kelompok mapan yang terganggu dengan kehadiran mural tersebut. Dalihnya karena kehadiran mural tersebut merusak keelokan atau ketertiban umum. "Padahal kalangan mapan itu khawatir dengan munculnya kerumunan," tutur Hawe.