Kejati Banten telah menerima laporan penghitungan kerugian negara dari kasus dugaan korupsi hibah pesantren senilai Rp 70 miliar dari BPKP. Akademisi menilai laporan itu bisa jadi informasi penting yang bisa menjelaskan bagaimana hibah jadi bancakan.
"Laporan kerugian itu menjelaskan berapa jumlah rupiah yang dijadikan 'makan siang bersama' oleh para pelakunya," kata akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Ikhsan Ahmad di Serang, Banten, Senin (9/8/2021).
Setiap korupsi, katanya, pasti merugikan negara. Tapi, kasus hibah ke ribuan ponpes itu apakah bisa menjawab hal substantif yang diajukan masyarakat, misalnya soal bagaimana aliran dana itu terdistribusi dalam bantuan bentuk bantuan ke ponpes. Kemudian, bagaimana regulasi di tingkat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, khususnya oleh para petinggi kebijakan di Pemprov Banten.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Korupsi dana bansos bukan saja menghasilkan kerugian negara, tetapi juga menimbulkan konflik, fitnah dan resistensi politik yang besar. Tarik menarik antara isu yang menjuruskan isu ini sebagai merendahkan martabat pesantren, dan isu yang ingin menegakkan perlakuan hukum tanpa mengaitkan dengan isu pesantren dan ulama," tutur Ikhsan.
Pertanyaan lain juga adalah apakah pemanfaatan hibah yang kemudian dikorupsi itu ada kaitannya dengan kontestasi politik. Juga kenapa hanya satu organisasi keagamaan saja yang ditunjuk menjadi penyalur hibah ke ponpes-ponpes di Banten.
"Kejati mestinya berani membeberkan hipotesa-hipotesa pertanyaan di atas kemudian itu diuji dalam persidangan. Bukankah kejati memiliki semua alat dan sumber daya yang mampu mengorek itu semua," ucap Ikhsan.
"Kerugian fantastis dan memalukan, kita tentunya prihatin nama ponpes dijadikan alat para oknum," ujar Matin.
Dia berharap kasus korupsi hibah ponpes itu jangan sampai tenggelam penyidikannya. Perlu tindakan tegas penegak hukum untuk mengusut dugaan korupsi itu.
"Banten sangat perlu penegakan hukum pasti dan tegas menyangkut dugaan korupsi dalam segala bidang yang merugikan keuangan negara," ucap Matin.
Kasi Penerangan dan Hukum Kejati Banten Ivan Hebron Siahaan mengatakan penghitungan kerugian negara kasus hibah ke ponpes sudah keluar berdasarkan audit BPKP. "Audit sudah keluar kerugian negara Rp 70 miliar, itu untuk hibah 2018 dan 2020," kata Ivan.
Hibah pada 2018 total anggarannya Rp 66 miliar dibagikan ke 3 ribu pesantren lebih masing-masing Rp 20 juta. Sementara tahun 2020 anggaran mencapai Rp 117 miliar dibagikan ke 4 ribu pesantren dengan bantuan Rp 30 juta per pesantren.
Para tersangka kasus ini adalah eks pejabat di Biro Kesra yaitu Irvan Santoso dan Toton Suriawinata. Kemudian ada oknum pemotong hibah yaitu ES, AG selaku honorer Kesra dan AS pengurus pesantren.