Kota Cimahi dibayang-bayangi fenomena penurunan tanah atau land subsidence. Di Cimahi sendiri daerah yang mengalami penurunan tanah paling parah yakni di wilayah selatan di antaranya Leuwigajah, Utama, serta Melong.
Berdasarkan kajian yang dilakukan tim peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) penurunan tanah di wilayah tersebut mencapai 20 centimeter per tahunnya. Namun ternyata beberapa waktu belakangan ini terjadi perlambatan laju penurunan tanahnya hingga kurang dari 10 centimeter pertahunnya.
"Dari akhir 2000-an di Cimahi subsidencenya 20 itu per tahun. Tapi ternyata sekarang melambat atau terjadi perlambatan, mungkin hanya 8 centimeter pertahunnya," ungkap Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Heri Andreas saat dihubungi detikcom, Jumat (6/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menarik diulas, karena asalnya Cimahi ini paling tinggi tapi sekarang berkurang. Sementara di tempat lain masih konstan segitu. Bahkan ada yang makin cepat dan lebih banyak lagi daerah yang mengalami subsidence lebih dari 10 cm per tahun," terang Heri.
Ia sendiri belum bisa memastikan apa penyebab di balik terjadinya perlambatan penurunan tanah di Cimahi mengingat perlu dilakukan kajian komprehensif dilengkapi data. Namun berdasarkan hipotesis, ada beberapa faktor yang paling mungkin melatarbelakanginya.
"Belum ada yang bisa pasti menjawabnya, termasuk saya karena harus didukung data. Tapi hipotesisnya, bisa diperkirakan seperti dari ada penurunan produktifitas industri di situ. Sebagian pabrik katanya pindah ke lokasi lain. Banyak yang migrasi, termasuk di Jakarta. Sehingga eksploitasi air tanah berkurang, sedangkan eksploitasi itu salah satu penyumbang terbesar subsidence," jelas Heri.
Hipotesis lainnya yakni eksploitasi air tanah dengan membuat titik bor baru yang lebih dalam. Eksploitasi air tanah di titik yang baru tidak serta merta menyebabkan terjadinya subsidence. Sementara meninggalkan titik bor lama, juga berdampak pada melambatnya laju subsidence atau penurunan tanah.
"Ketika eksploitasi ke akuifer baru itu tidak langsung turun. Karena biasanya air tanahnya masih banyak, tekanan porinya masih besar. Jadi respon penurunan atau kompaksi di akuifer masih kecil. Menunggu dulu eksploitasi besar-besaran, baru ketika airnya berkurang nah terjadi kompaksi yang signifikan lalu turun tanahnya. Jadi seperti itu proses hidrogeologinya," ucap Heri.
Namun Heri menyebut perlambatan penurunan tersebut bisa jadi merupakan jeda sebelum terjadinya penurunan tanah yang lebih parah lagi mendekati kecepatan sebelumnya. Apalagi penurunan tanah sendiri bersifat antropogenik atau akibat ulah dari manusia.
"Feeling saya ini ada jeda sebentar, nanti turun lagi. Dan penyebab yang saya jelaskan itu kan masih hipotesis perlu dibuktikan dulu dengan pengukuran dan cari informasi valid. Sifatnya (land subsidence) ini juga kan antropogenik atau akibat ulah manusia. Kalau tidak ngapa-ngapain, ya pasti tidak akan ada kesetimbangan yang terjadi," jelas Heri.
Heri menggarisbawahi potensi kekeringan di Cimahi bakal terjadi akibat eksploitasi air tanah oleh industri. Meskipun kekeringan bukan dampak langsung dari terjadinya subsidence namun masih satu rangkaian sebab akibat.
"Penting dicatat, dampaknya itu krisis air tanah. Ketika kita enggak sadar eksploitasi terus, tiba-tiba habis air tanahnya, potensinya kekeringan bisa terjadi di 2050. Itu yang mesti lebih dikhawatirkan ketimbang dampak langsung dari subsidencenya," tegas Heri.
(mud/mud)