Para aktivis antikorupsi di Banten mendorong agar kasus hibah pondok pesantren yang ditangani kejaksaan diusut tuntas. Penyidikan yang dilakukan penegak hukum ini jangan berhenti di level birokrasi.
Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar mengatakan kasus hibah biasanya muncul karena ada masalah di transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian dan tidak bebas kepentingan. Unsur ini biasanya banyak dilanggar pada setiap penyaluran bantuan dan kadang-kadang jadi bancakan politik.
Selain itu, kasus korupsi di manapun, menurut Tibiko, biasanya juga tidak berdiri sendiri dan selalu melibatkan banyak pihak. Dalam kasus hibah di Banten, dia mengatakan, penuntasan perkara semestinya tidak berhenti di level bawah, misalkan pesantren atau birokrasi saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa kuasa pengguna anggaran adalah kepala daerah, kedua proses kebijakan hibah pesantren di daerah ini penanggung jawab adalah pemda. Oleh karena itu sepatunya proses penuntasan kasus perkara ini tidak hanya di level birokrasi bawah, tapi level atas," ujar Tibiko dalam diskusi tema 'Banten dalam Pusaran Korupsi' di Serang, Jumat (28/5/2021).
Penyaluran hibah selalu rentan potensi diselewengkan. Khususnya dalam mekanisme, prosedur dan pendistribusian anggarannya. Apalagi, kasus hibah di Banten sebetulnya bukan yang pertama kali terjadi.
Hal yang sama diungkapkan Direktur Visi Integritas Ade Irawan. Ia mengatakan, pada 2011-2012, hibah bansos juga pernah jadi bancakan dan ada tersangka di level birokrasi, tapi tidak menyentuh aktor intelektual. Ade mendorong penegak hukum harus bisa membongkar aktor-aktor intelektual itu, katanya.
"Jangan sampai ini berhenti di birokrasi tanpa berhasil ungkap aktor intelektualnya. Karena kalau proses hukumnya berhenti di situ, ke depan pasti terulang lagi. Hibah bansos ini kan gampang digunakan banyak kepentingan, baik untuk kepentingan politik dan kepentingan mendapatkan resources keuntungan pribadi. Karena hibah bansos ini mudah karakteristiknya dibandingkan program lain," tutur Ade.
Lalu, jika ada pernyataan dari tersangka yang menyatakan ada perintah kepala daerah di hibah ponpes, tugas kejaksaan menindaklanjuti itu. Pernyataan itu perlu dibuktikan oleh mereka yang mengusut kasus ini.
"Jangan sampai berhenti di ponpesnya atau berhenti di birokrasinya. Saya bukan berburuk sangka, tapi penting dalam hal ini kejaksaan yang sedang menangani kasus ini mengungkap tadi. Ini bukan bicara soal hukum, tapi bicara soal keadilan dan Banten ke depan," ujar Ade.
Kasus hibah pesantren tahun 2018 dan 2020 yang diusut Kejati Banten ini sudah menetapkan lima tersangka. Mereka yaitu eks Kabiro Kesra Irvan Santoso, PNS Kesra Toton Suriawinata. Tiga orang lain yaitu oknum pemotongan hibah di lingkungan pesantren yaitu ES asal Pandeglang, seorang honorer di Biro Kesra inisial AG dan salah satu pengurus pesantren, inisial AS.