Kebijakan larangan mudik telah usai pada 17 Mei 2021 kemarin. Namun setelah H+7 lebaran, pemerintah kembali memberlakukan pengetatan syarat perjalanan yang berlaku selama 18-24 Mei 2021 mendatang.
Hal tersebut dinilai sedikit banyaknya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Pakar Ekonomi Universitas Pasundan sekaligus Plt Ketua ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Bandung Koordinator Jabar Acuviarta Kartabi memprediksi, pertumbuhan ekonomi di Jabar akan berjalan lambat.
"Perkiraan saya memasuki triwulan kedua tahun 2021 terutama sejak April hingga Mei ini masih akan terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi. Meski secara triwulan mungkin di triwulan kedua nanti kita akan mulai memasuki zona pertumbuhan ekonomi positif, namun pencapaiannnya masih sangat terbatas," kata Acuviarta saat dihubungi detikcom, Selasa (18/5/2021).
Dia melanjutkan, kondisi tersebut belum sesuai dengan harapan, padahal Pemprov Jabar memperkirakan tahun 2021 ini pertumbuhan ekonomi Jabar paling tidak menyentuh angka 4%. "Kita lihat di triwulan 1 tahun 2021 saja, sebelum ada larangan mudik atau artinya mobilitas masih lebih longgar meski ada PPKM mikro pertumbuhan ekonomi secara triwulan hanya mampu mencapai 0,67%. Secara tahunan kita juga masih terkontrasi cukup dalam (-0,83%), bahkan di atas kontraksi pertumbuhan ekonomi Nasional (-0,74%)," ujarnya menambahkan.
Dia pun menilai, adanya kebijakan larangan mudik akan membuat ekonomi di Jabar terpukul. "Jadi kondisi larangan mudik yang terjadi bersamaan belum optimalnya peran komponen di luar konsumsi rumah tangga saya kira masih akan memukul pertumbuhan ekonomi Jabar di Triwulan kedua tahun ini," sambungnya.
Bukan tanpa sebab, Acuviarta mengatakan, beberapa indikasi memberikan bukti bahwa ekonomi di Jabar berjalan lambat. Misalnya, kata dia, indikasi tersebut terlihat dari pergerakan harga-harga atau tingkat inflasi yang masih relatif rendah.
"(Kondisi tersebut) sekaligus mengindikasikan masih lemahnya daya beli dalam mendorong permintaan rumah tangga sehingga pada akhirnya mempengaruhi pergerakan harga-harga komoditas," katanya.
Selain itu, dilihat dari sisi lapangan usaha pun diprediksi tidak lebih baik. Dia menuturkan, Jabar terbantu dengan perkembangan positif dari sektor infokom, pengadaan air, dan pertanian.
"Sebelum ada larangan mudik pertumbuhan triwulan sektor jasa akomodasi (hotel) dan F&B sudah merupakan yang terendah dari 11 sektor dalam PDRB Jabar. Ironinya sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang logikanya bisa berkontribusi positif terhadap pertumbuhan malah menjadi sektor dengan pertumbuhan terendah kedua dalam perekonomian Jabar secara triwulan," jelasnya.
Sektor lain yang juga dipandang memiliki pertumbuhan lambat yakni sektor jasa akomodasi, transportasi, sektor perdagangan dan sektor konstruksi. "Itulah kenapa saya memperkirakan percepatan pertumbuhan ekonomi Jabar menuju zona positif akan berjalan sangat lamban. Sektor industri yang menjadi engine of growth karena share-nya tinggi dalam PDRB masih mengalami beragam persoalan dan tidak kunjung tuntas," tuturnya.
Sampai saat ini, kata dia, pemerintah belum memberikan hasil evaluasi dampak ekonomi dari larangan mudik. "Karena pemerintah belum evaluasi dampak ekonomi dari larangan mudik, saya hanya mendengar keluhan dari PHRI sektor perhotelan semakin terpuruk," kata Acuviarta.
Dia berharap, kebijakan larangan mudik dan pengetatan perjalanan dapat memberikan bukti nyata pada penekanan kasus COVID-19. "Saya berharap larangan mudik betul-betul efektif untuk menekan perkembangan kasus-kasus positif COVID-19. Sebab jika tidak diikuti dengan keberhasilan menekan kasus positif terutama di daerah cluster destinasi wisata maka hal tersebut akan semakin memukul pertumbuhan ekonomi 2 hingga 3 bulan ke depan," pungkasnya.
(mud/mud)