Akhir Maret 2020, Dewi Anggraeni (40) harus mulai menjalankan tugas barunya di ruang isolasi RSUD Cianjur. Merawat pasien terpapar COVID-19 yang saat itu masih baru dan menjadi wabah menakutkan.
Perempuan yang sudah belasan tahun menjadi tenaga kesehatan di rumah sakit ini tak punya pilihan, meskipun risiko penularan menghantui, tugas tetaplah tugas yang harus dijalankan.
Sumpah dan janjinya sebagai perawat tak akan dilanggar oleh perempuan beranak tiga ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awak kamar isolasi itu di Flamboyan RSUD Cianjur, ruangan tempat saya bekerja. Tidak ada pilihan untuk terima atau minta ditugaskan di ruangan lain. Semua yang di ruangan tersebut, menjadi petugas khusus isolasi," kata dia, Rabu (21/4/2021).
Sejak waktu itu juga, Dewi mulai mengurangi interaksi dengan keluarga. Meski berat dan sedih, namun ia terpaksa melakukannya demi keluarga tercintanya tidak terpapar.
"Bahkan awal-awal saya sempat titipkan anak ke saudara. Ketemu hanya seminggu sekali. Sedih, tapi mau bagaimana lagi," ucapnya.
Pada November 2020, ia pun merasakan indra penciuman nya hilang dan sejumlah gejala lainnya muncul. Betapa kagetnya, jika yang dikhawatirkannya selama ini terjadi, ia terpapar COVID-19 dan dikonfirmasi positif berdasarkan swab test.
Perasaannya bercampur, antara tak percaya, sedih, dan rasa takut lainnya. Mengingat tak sedikit pasien terpapar yang tak berhasil selamat, bertarung melawan COVID-19.
"Saat itu yang saya khawatirkan keluarga, apakah ikut terpapar atau tidak. Alhamdulillah semua negatif. Kalau saya sendiri sudah berserah, berdoa yang terbaik kepada Tuhan. 14 hari di kamar isolasi melawan COVID-19 itu berat, apapun yang terjadi yang penting terbaik untuk saya," ucapnya.
"Pada akhirnya saya dinyatakan sembuh. Sangat senang. Meskipun setelahnya tentu tidak ada istirahat, kembali lagi bertugas merawat pasien COVID-19 lainnya. Tapi saya dapat semangat baru, saya harus bisa melakukan yang terbaik agar pasien lainnya juga bisa sembuh," tuturnya.
Sama halnya dengan Dewi, Astri Nurma Hapsari (28) Nakes kebidanan di Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur ini menjalani tahun yang panjang dan penuh risiko, sejak pandemi terjadi.
Nakes yang bekerja di gugus tugas COVID-19 Cianjur ini harus berjuang mengedukasi masyarakat tentang Corona.
Menghadapi keluarga pasien meninggal terindikasi atau terkonfirmasi COVID-19, menjadi rutinitasnya hampir setiap hari.
Cacian, makian, bentakan, dan sikap tak mengenakan lainnya kerap ia rasakan saat keluarga pasien meninggal terpapar tak menerima penjelasanya terkait prosedur pemakaman COVID-19.
"Tugas memang seperti mudah, mengedukasi soal COVID-19 dan prosedur pemakamannya. Tapi pada kenyatannya, banyak keluarga yang tidak menerima. Makanya dibentak dan dicaci itu sudah tidak aneh," tutur Astri.
Meski tampak tegar, kadang hati kecilnya menangis mendapat perlakuan tersebut. "Ya tetap berusaha tegar saja, kan sudah tugas," kata dia.
Tidak hanya dihadapkan pada kondisi tersebut, Astri juga kerap dihantui rasa takut terpapar COVID-19 saat bertugas. Apalagi dia juga sempat menjadi tim untuk melakukan penelusuran atau trashing, pasien terpapar Corona.
"Yang saya khawatirkan setiap kali ke lapangan itu bukan pribadi, tapi keluarga. Bisa saja ketika saya tugas, ada virus yang masih menempel dan membuat keluarga terpapar. Itu yang saya lebih khawatirkan, dibandingkan pribadi. Apalagi saya seorang ibu juga, tidak mau keluarga terlebih anak saya terpapar," kata dia.
Kedua Nakes perempuan ini merupakan sedikit dari banyak Nakes perempuan yang dihadapkan pada beban berat di tengah pandemi ini.
Pada satu sisi, harus menjalankan tanggung jawab berat merawat pasien terpapar, namun juga mesti tetap menjalankan tugasnya di rumah.
Rasa sedih lantaran tak bisa berinteraksi normal dengan keluarga dan anak selayaknya keluarga lain kerap dirasakan.
Namun semangat Kartini di jiwa para perempuan tangguh tersebut, membuat mereka tetap gigih berjuang, dengan harapan pandemi segera berlalu.
(mud/mud)