Sepeninggalan Maulana Yusuf pada 1580, anaknya Maulana Muhammad melanjutkan kepemimpinan di Kesultanan Banten. Ia memimpin Banten hingga tahun 1596 di usia yang masih relatif muda pada usia 25 tahun. Sultan ini meninggal dalam sebuah ekspansi kerajaan ke Palembang di Sumatera.
Dalam naskah sastra klasik Sajarah Banten di buku 'Menyusuri Jejak Kesultanan Banten' yang ditulis oleh Titik Pudjiastuti, Maulana Muhammad selama enam belas tahun menjadi raja di Kesultanan Banten. Ia dikenal sebagai raja yang soleh karena kebaikannya yang tak pernah surut.
Raja ini menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan ajaran Islam. Ia selalu memberi contoh kebaikan pada masyarakatnya. Namun di kemudian hari, raja muda ini meninggal dalam sebuah pertempuran dalam rangka ekspansi kerajaan ke Palembang. Makanya, ia dijuluki sebagai Pangeran Seda ing Palembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku 'Catatan Masa Lalu Banten' karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, sultan ini bahkan mengarang kitab agama dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Ia sangat menghormati gurunya Kiai Dukuh di Kampung Kasunyatan. Sarana ibadah seperti masjid juga dibangun ke pelosok di mana umat muslim Banten menetap. Bahkan, ia rutin menjadi imam dan khotib pada salat Jumat dan di hari Hari Raya Idul Fitri.
"Masjid Agung dilapisi dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana, untuk tempat salat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawestren atau pawadonan," tulis Halwany Michrob sebagaimana dikutip detikcom.
Penyerbuan ke Palembang oleh Kesultanan Banten bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin berkuasa dan jadi raja di Palembang. Ia adalah keturunan dari Aria Pangiri putra dari Sunan Prawoto atau Pangeran Mu'min dari Demak. Aria Pangiri sendiri selalu gagal jadi raja Demak karena ingin melepaskan diri dari kuasa Mataram dan kemudian menetap di Banten.
Terbujuk rayuan dan hasutan Pangeran Mas, Maulana Muhammad yang berdarah muda berangkat ke Palembang menggunakan 200 kapal perang setelah mengindahkan masukan senior di kerajaan.
Ia memimpin penyerbuan ini didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Di darat, pasukan dikerahkan dari Lampung, Seputih dan Semangka. Pertempuran itu bahkan digambarkan berhari-hari hingga dapat memukul mundur pasukan Palembang.
"Terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari-hari lamanya, dan akhirnya pasukan Palembang dipukul mundur," tulis Halwany.
Namun, dalam kondisi hampir menang, sultan yang memimpin pasukan di kapal Indrajaladri malah terkena sebuah tembakan dan menyebabkan luka fatal berujung kematian. Dari situ, pasukan kemudian diminta mundur dan penyerbuan itu tidak dilanjutkan. Peristiwa gugurnya sultan di Palembang itu tercatat pada tahun 1596.
Gugurnya sultan tentunya membawa kesedihan bagi warga Banten. Pangeran Mas yang oleh masyarakat dianggap penyebab kematian sultan tersebut kemudian menetap di Jayakarta. Di sana, ia juga dituliskan meninggal akibat dibunuh oleh anaknya sendiri.
"Maulana Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan pemerintahannya," tulis Halwany.
(bri/mso)