"Daun apa yang memiliki kandungan vitamin C yang lebih banyak tujuh kali dari jeruk, vitamin A empat kali lebih banyak dari wortel, kalsium empat kali lebih banyak dari susu sapi dan potasium yang lebih tinggi dari pisang dalam setiap gramnya?"
Pertanyaan itu dilontarkan Faiz Manshur saat ditemui detikcom di Cisanggarung, Desa Cikadut, Cimenyan, Kabupaten Bandung belum lama ini. Sejurus kemudian, ia menimpali dengan pertanyaan lanjutan.
"Lalu makanan apa yang selain kaya vitamin, juga kaya akan asam amino dan mineral sekaligus?" tanya Faiz.
"Semuanya ada dalam daun kelor!" tegasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengakui kandungan gizi dan nutrisi yang terkandung di dalam daun kelor atau Moringa oleifera. Tanaman yang tahan di segala musim ini, direkomendasikan untuk diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak-anak.
Khasiat lainnya, tulis FAO dalam laman resminya, kelor juga bisa berfungsi sebagai bahan medis karena memiliki kandungan antibiotik, antitripanosomal, hipotensi, antispasmodik, anti luka, anti inflamasi, hiperkolesterolemia dan hipoglikemik. Tak hanya bermanfaat bagi kesehatan tubuh, FAO juga menulis jika tanaman ini bisa mendatangkan penghasilan bagi petani berskala kecil.
Pohon kelor juga bermanfaat untuk menjaga ekosistem karena memiliki akar yang kuat sehingga mengurangi erosi tanah. Oleh karena itu sejumlah kalangan menjuluki tanaman ini sebagai makanan super (super food) atau daun ajaib karena manfaat yang dikandungnya.
Berangkat dari semangat itu, Faiz bersama Yayasan Odesa Indonesia yang dirintis sejak 2016, berusaha menularkan pemahaman tersebut kepada warga, khususnya petani di Cimenyan. Daun kelor menurutnya menjadi kunci untuk perbaikan gizi, menaikkan hajat hidup masyarakat desa, sekaligus melindungi lahan Bandung Utara yang telah kritis.
Awal Gerakan 'Kelorisasi'
Tak bisa dipungkiri, salah satu pemantik gerakan Odesa di Cimenyan ini salah satunya setelah melihat petani prasejahtera yang mengalami penyakit yang kompleks dan tak terawat dengan layak. Petani tersebut menderita kanker, penyakit jantung dan kolesterol yang tinggi, sementara kemiskinan membuatnya tak bisa mendapatkan sanitasi yang layak.
"Kita bawa ke rumah sakit, ternyata kanker, jantung dan kolestrolnya tinggi. Penyakitnya seperti orang kota, intinya, saya melihat ternyata gizinya kurang baik, dari situlah saya mencari solusi pangan yang sehat, kalau orang sakit saya tanggung jawab ke RS tapi apakah itu cukup ? dari sanalah saya menemukan kelor ini tanaman yang direkomendasikan PBB," katanya.
"Apalagi bila yang sakit itu kepala keluarga prasejahtera, untuk menunggu yang sakit kita bayar orang nungguin Rp 100 ribu per hari, belum yang mendampingi kita bayar Rp 100 ribu, terus kemudian orang yang di rumah juga kita bayar karena tidak ada uang untuk beli makanan, kepala keluarga mereka yang mencari uangnya sakit, kita total bisa bayar Rp 300 ribu - Rp 400 ribu per hari untuk biaya di luar pengobatan, betapa mengerikannya bila sampai sakit," ujar Faiz.
Masalah lainnya, ketika Faiz berkaca masih banyaknya kasus gizi buruk dan stunting di Kabupaten Bandung. Berdasarkan data yang dikutip detikcom dari Open Data Jabar, pada tahun 2020 ditemukan 270 kasus gizi buruk di sana. Angka prevalensi stunting di Kabupaten Bandung menurut Riskesdas Kementerian Kesehatan tahun 2018 sebesar 35,2%.
"Saatnya petani harus mulai mahir menyeleksi jenis tanaman yang memiliki gizi yang baik. Di sisi lain, tanamlah yang beraneka ragam. Kita harus menanam beragam tanaman, tapi di antara fokus menanam, bisa mengerti mana yang paling bergizi. Katakanlah kelor ini 15 persen, tanaman yang lainnya 5 persen, 5 persen, dan seterusnya," ujar pria kelahiran Temanggung, 1976 itu.
"Tradisikan budidaya yang cerdas. Imajinasi saya seperti itu, sorgum harus ada, kelor harus ada, kopi juga harus ada," imbuhnya.
Simak juga 'Berbuka dengan Puding Daun Kelor, Bikin Semangat Nggak Kendor':
Tantangan Berikan Edukasi Makanan Bergizi
Sebagai langkah awal, mulanya Odesa menanam kelor dan membagikan bibitnya kepada petani dan warga desa, juga memberikan edukasi soal manfaatnya. Beberapa petani dan perempuan di rumah tangga pun dicetak sebagai kader untuk memberikan informasi mengenai khasiat praktis dari daun kelor.
Hasilnya bisa ditebak, sebagian petani menilai menanam kelor itu adalah hal yang konyol karena dinilai tak memberikan manfaat ekonomis. Namun, dengan pendekatan bahwa daun kelor manjur untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan menyelamatkan ladang mereka, perlahan petani dan warga mau diajak untuk menanam kelor.
"Tahapan pertama memberi tahu kalau kelor ini bagus untuk kesehatan, kita coba dikasihkan ke yang sakit dan berkurang kesakitannya. Karena kalau kita langsung bicara soal gizi, mungkin petani dan masyarakat di desa tidak bisa langsung paham," ucapnya.
Saat ini, ujar Faiz, sudah ada 2.900 petani yang menanam pohon kelor di beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Bandung. Selain di Cimenyan, Odesa juga menggerakkan petani di kecamatan Cileunyi dan Cilengkrang untuk membudidayakan kelor.
"Ada 78 ribu bibit yang kita keluarkan untuk petani selama lima tahun kita berdiri, tak hanya di desa orang di perkotaan juga ada yang ingin menanam bibit kelor," ucapnya.
Odesa pun berperan sebagai off taker yang membeli bibit dan hasil panen kelor dari petani, walau tak banyak setidaknya itu bisa menambah semangat petani dan warga untuk menjangkau pangan bergizi lebih dekat.
"Tapi untuk petani yang berskala kecil, minimal mereka bisa mengonsumsi kelor untuk keluarganya sendiri. Karena kalau panen untuk tujuan bisnis itu kan harus banyak sekali pohonnya," kata Faiz.
![]() |
Kampanye ini bisa dibilang berhasil, lewat mulut ke mulut dan platform digital, setidaknya saat ini dalam waktu sepekan ada saja petani atau warga yang meminta bibit kelor untuk ditanam atau daunnya untuk dikonsumsi. "Mereka yang sakit, istri hamil dan menyusui juga dianjurkan untuk mengonsumsi kelor ini," ucapnya.
Masyarakat Cikadut Mulai Rasakan Manfaat Konsumsi Kelor
Desa Cikadut berada di perbukitan di sebelah utara 6 KM dari Lapas Sukamiskin Kota Bandung. Ibu-ibu yang pulang bekerja di landang, sibuk mencuci dan memasak daun kelor. Mereka membuat berbagai macam sayur seperti lodeh, sayur bening, oseng-oseng, sup, bakwan atau bala-bala dengan menggunakan daun kelor.
Enoh Supena (48) salah seorang Ibu rumah tangga yang hari itu memasak sayur bening daun kelor mengatakan kalau dirinya dan keluarganya sudah sering memasak sayur kelor. Ia rutin mengonsumsi kelor minimal tiga kali dalam seminggu.
"Soal makan kelor sekarang sudah biasa. Dulunya kita tidak tahu manfaatnya. Tapi banyak yang sembuh dari sakit warga jadi ikut-ikutan," kata Enoh.
Menurutnya, warga di Desa Cikadut sudah tidak asing lagi dengan kelor karena sudah lebih banyak yang menanam ketimbang yang belum. Kebanyakan warga juga mau memasak kelor, hanya saja kalau musim kemarau seringkali kehabisan daun karena jumlah tanamannya masih kurang mencukupi.
"Kalau tahun depan mungkin akan lebih rutin lagi karena musim penghujan ini sudah banyak yang menanam dan pohon lama sudah semakin banyak menghasilkan daun," katanya.
Beberapa waktu lalu, Pungkit Wijaya (30) sempat kebingungan, sebab ASI istrinya tak keluar untuk menyusui buah hati. Sampai akhirnya, seorang teman membisikannya untuk memanfaatkan seduhan teh daun kelor kering.
Ia pun mencoba saran tersebut, dan dalam waktu lima hari sejak minum teh kelor, ASI istrinya bisa mengalir dan sang bayi bisa mendapatkan ASI dengan lancar. "ASI istri saya jadi lancar. Alhamdulillah anak bisa menyusu, dan badan istri juga lebih bugar, ada yang bilang butuh waktu 14 hari, tapi ternyata lebih cepat," ujar Pungkit.
Memanen Bahan Cemilan Anak Bergizi dari Tani Pekarangan
Odesa membuat kelompok tani Tanaman Obat Cimenyan (Taoci) di sana selain kelor juga ditanam tanaman lainnya seperti sorgum, hanjeli, daun Afrika, bunga matahari, bunga telang, juga tanaman buah. Gerakan ini berjalan progresif, karena Odesa juga dimotori oleh berbagai kalangan di antaranya mahasiswa, cendekiawan, seniman dan wartawan.
"Untuk yang tak punya lahan luas, kita kenalkan juga konsep tani pekarangan, ibu-ibu dan warga desa lain yang tak punya lahan luas juga kita kenalkan dengan konsep ini. Minimal mereka memetik hasil berkebun di pekarangan mereka untuk dikonsumsi sendiri, jadi uang untuk belanja sayur harian bisa dialokasikan untuk bayar listrik dan yang lainnya," ujar Faiz.
Faiz menekankan, Odesa tak memaksa petani untuk hanya bertanam kelor semata. Menurutnya, diversitas gizi pangan merupakan hal yang sangat dibutuhkan tubuh, terutama bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak-anak dalam masa pertumbuhan.
"Jadi untuk kelornya tidak perlu menanam 100 atau 1000 pohon. Tapi beberapa saja, minimal dengan adanya kelor lahan dia lebih terlindungi dari erosi dan cadangan air untuk lahan terjaga. Kelor itu mudah kok perawatannya. Istilahnya kita manfaatkan lahan yang tak termanfaatkan sebelumnya," katanya.
Selain kelor, saat ini Odesa juga mengajak warga dan petani untuk mengonsumsi hanjeli (Coix lacyma-Jobi L) sebagai cemilan bagi anak-anak. Menurutnya, hanjeli juga baik sebagai sumber karborhidrat lainnya selain nasi beras.
"Dan untuk hanjeli itu bisa dijadikan bubur untuk sarapan anak, daripada misal bubur kacang hijau yang kacangnya harus impor. Hanjeli itu dikasih gula aren bisa jadi cemilan yang mengenyangkan, enak dan bergizi. Anak-anak suka dan bisa mengurangi jajan sembarangan," tutur Faiz.
Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi
Dokter Spesialis Gizi Klinik dari Indonesian Nutritition Association Diana Sunardi mengatakan, masalah gizi merupakan tantangan besar yang harus dihadapi bersama. "Indonesia menghadapi triple burden, pertama adalah stunting, malnutrisi atau kurang gizi, dan masalah nutrisi yang berlebihan yaitu obesitas," ujar Diana dalam webinar bertajuk 'Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi' yang ditayangkan di saluran YouTube akun Nutrisi Bangsa pada 1 Februari 2021.
Secara khusus, Diana menyoroti stunting. Menurutnya siklus stunting berawal dari status gizi yang tidak baik pada remaja putri. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2014 berada pada angka 37 persen dan berhasil ditekan hingga mencapai angka 27,6 persen pada tahun 2019. Namun angka tersebut diperkirakan mengalami sedikit kenaikan di tahun 2020 sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang melanda.
"Siklus stunting di Indonesia berawal dari status gizi yang tidak baik pada remaja putri, status kehamilan yang kurang baik, anemia kurang zat besi akan melahirkan bayi-bayi yang kurang berat badan, yang kalau nutrisi balita kurang baik akan mengalami resiko pendek atau stunting," ujar Diana.
Menurutnya nutrisi yang seimbang sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Anemia pada anak dan remaja putri biasanya disebabkan oleh pola makan yang tak bervariasi atau picky eater, hal itu akan menyebabkan penyerapan zat besi yang rendah.
"Selain protein, kalsium, karbohidrat dan mineral, jangan lupar fakto yang penting adalah zat besi. Tidak hanya untuk sel-sel darah merah kepada anak balita, tapi untuk pertumbuhannya," kata Diana.
Menurutnya perlu ada upaya berkesinambungan dari semua pihak untuk menyelesaikan problematika tersebut. "Pemerintah dan semua pihak harus menyiapkan suatu program berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah defisiensi mikronutrien atau vitamin dan mineral. Dan mineral adalah zat besi, anemia disebabkan karena kurang zat besi," katanya.
"Salah satunya dengan gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan, diharapkan ke depannya akan membekali generasi yang tangguh, kuat dan sehat sehingga produktivitas dan kinerjanya baik, dan berperan penting untuk kehidupan bangsa," kata Diana.
Salah satu komponen swasta yang ikut andil dalam penanganan masalah nutrisi di Indonesia adalah Danone Indonesia. Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin mengatakan masalah gizi tidak melulu berkaitan dengan finansial, tetapi lebih kepada aspek pengetahuan.
"Gizi tidak terlihat tapi penting untuk menentukan bagaimana kualitas generasi ke depan. Fokus bersama dengan pemangku kepentingan lain membantu pemenuhan dan perbaikan gizi masyarakat melalui edukasi dan inovasi produk," ujar Arif dalam webinar yang sama.
Danone pun memiliki sejumlah program yang ditujukan untuk mengatasi masalah nutrisi di antaranya Isi Piringku yang mempromosikan konsumsi gizi seimbang dan gaya hidup sehat bagi anak usia 4-6 tahun. AMIR (Ayo Minum Air) untuk meningkatkan kebiasaan minum 7-8 gelar air per hari, Warung Anak Sehat untuk edukasi pedagang di kantin dan Aksi Cegah Stunting.
"Tak hanya bagi anak, tapi juga remaja dan orang dewasa melalui Generasi Sehat Indonesia (GESID), Taman Pintar dan Duta 1.000 Pelangi," tutur Arif.
Pemerintah telah menargetkan percepatan penurunan prevalensi stunting atau kekerdilan hingga mencapai 14 persen pada tahun 2024. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meyakini, meskipun tidak mudah hal tersebut dapat dicapai jika pelaksanaan di lapangan dapat dikelola dengan baik.
"Target kita (tahun) 2024 itu (prevalensi stunting) 14 persen. Bukan angka yang mudah, tetapi saya meyakini kalau lapangannya dikelola dengan manajemen yang baik, angka ini bukan angka yang sulit," ujar Presiden saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kemitraan Program Bangga Kencana, Kamis (28/01/2021), di Istana Negara, Jakarta seperti dikutip detikcom dari laman Setkab RI.