Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengeluarkan pernyataan kontroversial soal ancaman mengirimkan santet kepada Moeldoko akibat kongres luar biasa atau KLB Partai Demokrat di Deli Serdang. Belakangan, ia mengklarifikasi bahwa itu adalah puncak kekesalan tapi tidak ada niatan mengirimkan santet.
Pernyataan Iti disampaikan di kantor DPP Demokrat di Jakarta pada Minggu (7/3) lalu. Ia menolak hasil KLB illegal dan tidak gentar untuk melawan.
"Kalaupun perintah lain kami harus turun berdemo, kami siap. Santet Banten akan dikirim untuk KSP Moeldoko, terima kasih," kata ucap Iti waktu itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di RUU KUHP tahun 2019 versi bulan September, Pasal santet sendiri termuat di Pasal 252 dan masuk di Paragraf 2 'Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana'. Pasal itu berbunyi:
(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat 2 memperberat hukuman jika perbuatan berdasarkan Ayat 1 dilakukan untuk mencari keuntungan dan dilakukan sebagai mata pencaharian.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Belakangan, Iti yang juga Ketua DPD Demokrat Banten mengklasifikasi ancaman itu. Ungkapan santet itu ia sampaikan sebagai luapan emosi.
"Omongan santet merupakan puncak kekesalan kita DPD Demokrat Banten. Itu hanya bentuk ancaman kita, tapi tidak ada niatan kita melakukan hal tersebut. Kita merasa kesal dan emosi, karena kudeta KLB Demokrat yang dilakukan oleh Moeldoko," katanya sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com.
Pakar hukum pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Rena Yulia mengatakan, pasal mengenai santet memang jadi perdebatan. Perbuatan santet menurutnya sulit dibuktikan.
"Bagaimana membuktikan bahwa orang itu menyantet karena itu ilmu gaib, toh membuktikan perbuatan pidana nyata saja agak kesulitan, harus ada bukti permulaan yang cukup, baru kemudian seseorang bisa bisa ditetapkan jadi tersangka," ujar Rena saat berbincang dengan detikcom.
Oleh sebab itu, di RUU KUHP, bunyi pasal menyebutkan barang siapa yang mengaku, memberi tahu, menawarkan bahwa ia memiliki ilmu gaib dan bisa menimbulkan penyakit, penderitaan bahkan sampai kematian, seseorang itu menurutnya bisa dipidana. Jadi harus ada upaya bahwa pemilik ilmu gaib itu menyatakan diri dan mengumumkan kemampuannya.
"Jadi orang yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib, yang bisa mencelakakan orang lain, dan itu bayar jadi penghasilan dia kan, jadinya itu dipidana," ujarnya.
Belakangan, RUU KUHP sendiri oleh pemerintah dan DPR dibatalkan pengesahannya pada 2019 lalu. Pembatalan pengesahan dilakukan setelah ada desakan demonstrasi yang terjadi di Jakarta dan berbagai daerah.
Lihat juga Video: Menkumham soal KLB PD: Tolong Pak SBY dan AHY Jangan Tuding Pemerintah