Keberadaan pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat nyatanya tak selalu ditanggapi positif. Contohnya seperti yang terjadi di wilayah Kampung Maroko, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Sebagian warga di kampung tersebut menolak keberadaan Ponpes Tahfidz Quran Alam Maroko yang dianggapnya sesat dan tak sesuai kaidah. Buntutnya, warga melakukan pemblokiran akses ke ponpes hingga meminta ponpes tersebut angkat kaki dari kampung tersebut.
Konflik antara warga dengan Ponpes Alam Maroko dimulai ketika warga menuding ada praktik nikah tak resmi yang dilakukan pengurus ponpes dengan seorang warga. Belakangan diketahui jika keduanya merupakan janda dan duda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu warga juga menilai ajaran dan praktik keagamaan yang diamalkan pengurus serta santri ponpes sesat karena hanya salat tiga kali dalam sehari ditambah kiblat mereka tak umum seperti umat muslim lainnya.
Kepala Desa Mekarjaya Ipin Surjana mengungkapkan garis besar konflik antara warga dengan Ponpes Alam Maroko justru karena pihak ponpes yang disebutnya tak menghargai pengurus RT dan RW setempat.
"Warga memang inginnya pesantren bubar, karena dianggap tidak menghargai pengurus RT dan RW. Pengelola mendirikan pesantren tanpa izin dulu ke RT dan RW, itu yang membuat warga geram. Lalu soal permasalahan lainnya Ipin menjelaskan jika warga merasa keberatan lantaran pernikahan itu dinilai tidak lazim dilakukan karena tanpa ada wali dari pihak pria," ungkap Ipin Surjana kepada detikcom, Rabu (3/1/2021).
"Katanya ada pengurus nikah ke orang Kampung Maroko, tapi pesantren tidak pernah klarifikasi. Kami akhirnya berusaha meredam warga, jangan anarkis dan sabar. Kami juga minta ke pihak pesantren jangan dulu ada kegiatan pembangunan karena belum ada izin. Kalau penutupan jalan itu kan inisiatif warga," terangnya.
Tak berhenti sampai situ saja, saat ini aktivitas kegiatan santri di Ponpes Alam Maroko yang berjumlah sekitar 60 orang terancam berhenti di tengah jalan. Hal tersebut lantaran Indonesia Power (IP) yang mengklaim sebagai pemilik lahan tempat ponpes berdiri, juga telah menerbitkan surat relokasi ponpes yang harus dilakukan hingga batas waktu terakhir pada 10 Februari mendatang.
Menanggapi konflik antara pihaknya dengan warga setempat, pengelola Ponpes Alam Maroko Dadang Budiman mengaku pihaknya sudah menyiapkan langkah hukum menindaklanjuti permintaan relokasi dari IP serta berbagai tudingan miring yang dilontarkan warga.
"Kita sebetulnya tidak ingin kelewatan, tapi justru warga yang sudah kelewatan dengan memfitnah yang tidak-tidak pada Ponpes kami. Akhirnya kami akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan ini semua, termasuk soal pengusiran (relokasi)," kata Dadang Budiman saat dihubungi.
Dadang juga menyebut jika pihak pemerintah desa dan kecamatan tak pernah membuka niatan untuk melakukan klarifikasi secara berimbang. Sebab akhirnya pihak ponpes tetap disudutkan.
"Kami menganggap pertemuan dengan desa dan kecamatan bukan mediasi tapi intimidasi, karena pihak desa dan kecamatan juga sama, meminta kami pergi. Oleh karena itu, dari awal sampai saat ini kami tidak menerima hasil pertemuan itu," katanya.
Meski mendapat surat edaran untuk segera mengosongkan lahan, Dadang memilih bertahan dan tetap melanjutkan aktivitas santri yang mayoritas merupakan yatim piatu.
"Kami tidak akan mengosongkan tempat itu. Walau sekarang mereka mengancam akan melaporkan kami ke pihak berwajib. Silakan, tapi akan banyak yang pasang badan buat kami termasuk warga yang pro. Karena banyak juga anak-anak warga sekitar itu mengaji di ponpes kami," tandasnya.
Indonesia Power Minta Ponpes Direlokasi
Aktivitas santri di Pondok Pesantren Tahfidz Quran Alam Maroko, Kampung Maroko, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, terancam berhenti di tengah jalan.
Hal tersebut lantaran ponpes yang berdiri di atas lahan tegalan milik Indonesia Power (IP) itu diminta untuk segera angkat kaki buntut dari konflik yang terjadi dengan warga kampung setempat.
Humas PT Indonesia Power Saguling, Agus Suryana mengatakan secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan siapapun untuk membangun pesantren di atas lahannya.
Namun untuk permintaan relokasi terhadap Ponpes Alam Maroko berdasarkan konflik antara pesantren dan warga ini tidak menemui titik temu meski sudah dilakukan mediasi.
"Pesantren diberikan kesempatan untuk konsolidasi atau berdamai dengan warga. Manakala tidak terjadi kesepakatan, kita kasih solusi atau alternatif relokasi tempat," ungkap Agus ketika dikonfirmasi, Rabu (3/1/2021).
Agus menyampaikan pilihan relokasi itu demi mengurangi imbas konflik yang lebih besar. Secara prinsip Indonesia Power sama sekali tidak terganggu dengan aktivitas pondok pesantren Alam Maroko
"Relokasi yang dimaksud bagi Ponpes Alam Maroko ini bertujuan untuk menciptakan kondusifitas di tengah masyarakat," terangnya.
Agus menegaskan pihak pesantren diperbolehkan membangun kembali bangunan untuk kegiatan santri di lahan Indonesia Power di lokasi lain dengan catatan diterima oleh masyarakat setempat.
"Mereka dipersilakan mencari di tempat kita di wilayah lain. Tapi dengan catatan harus ada penerimaan dari masyarakat setempat," tegasnya.
Meski mendapat surat edaran untuk segera mengosongkan lahan, pengelola Ponpes Alam Maroko memastikan pihaknya akan bertahan dan tetap melanjutkan aktivitas santri yang mayoritas merupakan yatim piatu.
"Kami tidak akan mengosongkan tempat itu. Walau sekarang mereka mengancam akan melaporkan kami ke pihak berwajib. Silakan, tapi akan banyak yang pasang badan buat kami termasuk warga yang pro. Karena banyak juga anak-anak warga sekitar itu mengaji di ponpes kami," kata pengelola Ponpes Alam Maroko Dadang Budiman