Menakar Potensi dan Tantangan Petani Milenial di Jawa Barat

ADVERTISEMENT

Menakar Potensi dan Tantangan Petani Milenial di Jawa Barat

Siti Fatimah - detikNews
Jumat, 29 Jan 2021 11:29 WIB
Hamparan Sawah. 
dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Ilustrasi sawah (Foto: Dikhy Sasra)
Bandung -

Pemprov Jawa Barat tengah membuka program Petani Milenial. Para milenial akan mendapatkan suntikan dana hingga lahan perkebunan secara cuma-cuma di pedesaan.

Menanggapi hal tersebut, rasanya penting untuk mengetahui potensi bisnis dan rintangan yang mungkin akan dihadapi generasi milenial saat terjun ke dunia pertanian. Di Jawa Barat, komposisi penduduk milenial mencapai 26,07 persen dari total jumlah penduduk di Jabar yang mencapai 48,27 juta jiwa. Sementara secara nasional, jumlah kelompok milenial berada di angka 25,87 persen, dengan begitu kelompok milenial di Jabar lebih tinggi dari jumlah klasifikasi secara nasional.

Pakar Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi mengatakan, jika dilihat dari jumlah potensinya, bisnis pertanian bisa dikatakan cukup menggiurkan. Hanya saja, pertanian menjadi salah satu bidang ekonomi yang cukup kompeks permasalahannya.

"Selain mendorong masuknya petani milenial, juga harus diperhatikan rantai bisnis dan perdagangan komoditas pertanian. Itu masalah yang kompleks. Perlu disampaikan dulu seperti apa skenario jangka menengah, katakanlah asumsinya ada petani milenial bertambah, siapa yang akan membeli komoditas yang mereka hasilkan karena itu bagian dari program pemerintah daerah," ujar Kartabi saat dihubungi detikcom, Jumat (28/1/2021).

Dia memperkirakan, adanya petani milenial dapat merubah mindset anak muda soal pekerjaan tani. "Misalnya mereka lebih bisa beradaptasi dengan teknologi, sehingga akan ada penemuan-penemuan baru, varietas baru, jaringan pemasaran yang lebih inovatif, gaya kemasan yang beragam, dan adaptasi pemasaran secara online yang lebih maju," jelasnya.

Seperti yang sempat terjadi di Jawa Timur, di mana seorang petani milenial di Blitar berhasil membuat varietas baru alpukat yang bernama Aligator. Aligator ini menghasilkan buah sebesar kepala bayi dengan berat mencapai dua kilogram dengan jual bibit seharga Rp 50 ribu per batang dan keuntungan hingga Rp 2 juta dari buah yang dihasilkan per pohon.

"Seorang petani milenial melakukan uji coba siangan tanaman ini bertahun-tahun hingga berhasil membuahkan hasil dengan kualitas dan kuantitas maksimal," ujarnya.

Selain bicara mengenai potensi, Kartabi juga menyinggung soal tantangan milenial yang jumlahnya 26,07 persen dari total penduduk di Jabar itu. Dia menyebut, potensi yang besar akan berbanding jika minat menjadi petani milenial kurang. "Sekarang persoalannya berapa banyak potensi penduduk klasifikasi milenial yang tertarik dan mau menjadi petani milenial? Saya kira tantangannya di situ," tuturnya.

Dia mengatakan, generasi milenial dihadapkan pada keseharian dan ketertarikan pada hal-hal yang bersentuhan dengan digital teknologi dan praktis. Selain mereka yang tinggal di pedesaan, kata dia, jarang sekali mereka bersentuhan dengan aktivitas pertanian. "Sepertinya menurut saya butuh proses yang tidak mudah untuk mengadopsikan kelompok penduduk milenial dengan aktivitas pertanian di pedesaan," ujarnya.

"Kalau bicara keuntungan, semestinya usaha di bidang pertanian dapat menguntungkan. Bicara negara-negara yang masyarakatnya kaya dari sektor pertanian bisa kita lihat dari Selandia Baru, usaha pertanian dan peternakan di sana mampu membuat masyarakatnya sejahtera. Di Indonesia, kita defisit berbagai komoditas pangan, artinya di situ ada potensi pasar," tambah Kartabi.

Hadirnya milenial dalam dunia pertanian, diharapkan tidak hanya merubah jumlah petani dan pelaku usaha pertanian saja, tetapi jauh dari itu ada upaya memperbaiki rantai nilai serta keuntungan menjadi petani itu sendiri.

"Untuk memperbaiki keuntungan usaha pertanian problemnya tidak sedikit, bagaimana keuntungan dari hasil jual komoditas pertanian mampu meningkatkan keuntungan yang didapat petani. Selama ini kan yang menikmati keuntungan lebih besar bukan petani, tetapi pelaku usaha perdagangan komoditas pertanian. Sehingga masalah pertanian, bukan hanya soal memasukan dan mendorong semakin banyak petani, tetapi juga memperbaiki jalur distribusinya (tata niaga), akhirnya dari harga komoditas pertanian yang terbentuk di pasar mampu dinikmati petani," pungkasnya.

(mud/mud)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT