Saung Angklung Udjo (SAU) sebagai salah satu pelestari angklung terbesar di Indonesia terancam tutup karena pandemi COVID-19. Bila sampai ditutup, lalu bagaimana status angklung di Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) nantinya ?
Sebelumnya, pada 18 November 2010, UNSECO secara resmi mengukuhkan angklung Indonesia ke dalam daftar representif budaya tak benda warisan manusia (intangible cultural heritage of humanity). Angklung secara resmi diakui sebagai budaya bangsa Indonesia.
"Kami tidak ingin dipandang untuk lebih diperhatikan dibandingkan yang lain, karena di sini bukan sekedar tempat industri pariwisata tetapi di sini banyak nilai-nilai. Banyak aktivitas belajar bukan hanya semata pertunjukan untuk tamu, tetapi ada budaya yang dipelihara, ada edukasi yang ditularkan," kata penerus SAU Taufik Hidayat di Kota Bandung, Jumat (22/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufik mengatakan, sebelum penetapan itu, pihak UNESCO telah melakukan penelitian dan pengamatan selama dua minggu di SAU. "Dan benar di sin angklung di sini mendidik, kita memproduksi angklung, menanam pohon bambu untuk konservasinya, jadi dari hulur dan hilir ada," katanya.
"Kita bicara saung angklung bukan bicara fisik, tapi bicara roh budaya yang hidup," ujar Taufik menambahkan.
Taufik mengatakan, SAU sendiri telah memberdayakan hampir 80 persen keluarga yang berada di lingkungan SAU di Padasuka, Kota Bandung. "Mereka merasakan sebagai bagian dari saung," ujarnya.
Saat ini SAU terancam gulung tikar. Sejak COVID-19 merebak pada Maret 2020 lalu, jumlah pengunjung yang datang ke SAU merosot tajam. Dari rata-rata kunjungan 2.000 orang per hari, mendapatkan 20 kunjungan per minggu pun sulit.
(yum/mud)