Tanggal 2 Desember menjadi hari spesial untuk Kabupaten Lebak. Di tanggal itu yang bertepatan jatuh pada hari ini, Rabu (2/12/2020) menandakan usia Lebak ke-192 atau hampir menyentuh usia dua abad.
Dari daerah ini pernah lahir buku karya roman Multatuli berjudul Max Havelaar yang dianggap mengkritik feodalisme dan kolonialisme di Hindia Belanda. Karya Multatuli atau Douwes Dekker tersebut memiliki dampak besar khususnya pada perjuangan mengentaskan kolonialisme di Indonesia masa kolonial.
Nama Multatuli lantas diabadikan menjadi Museum Multatuli yang berdiri di Kota Rangkasbitung. Museum ini jadi ikon kota dan ruang publik masyarakat mengenal humanisme dan sejarah perjuangan mengentaskan kolonialisme termasuk di Lebak. Ia juga jadi tempat wisata yang bisa dikunjungi sekali jalan dari Jakarta melalui transportasi commuter line.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Multatuli, Lebak memiliki ikon lain yang tak kalah menarik. Di daerah ini hidup suku adat Baduy dengan ciri khasnya. Baduy dianggap warga adat yang memilih menjalankan hidup keluar dari modernisme dan menjadi penjaga alam di bagian selatan Banten.
![]() |
Lebak pun memiliki daerah ikonik untuk wisatawan. Baik itu wisata pantai seperti Sawarna, Bagedur atau aneka air terjun yang masih belum terjamah wisatawan.
Namun, bukan soal lokasi wisata atau sejarah kolonialisme yang akan dibahas di sini. Berita akan membahas soal fakta-fakta Kabupaten Lebak yang saat ini menginjak usia ke-192 tahun. Apa saja statistik daerah ini sebagai daerah otonom. Berapa banyak populasinya, angka harapan hidup, tingkat pendidikan sampai populasi masyarakatnya.
1. Daerah dengan Populasi Pria Lebih Banyak Dibanding Wanita
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, Kabupaten Lebak merupakan daerah paling luas se-Banten dengan luas 3,305 Km2. Namun siapa sangka, dengan daerah seluas itu ternyata populasi penduduknya hanya 1.2 juta jiwa. Menariknya, populasi penduduk pria ternyata lebih banyak dibandingkan perempuan. Populasi laki-laki adalah 664.437 dan perempuan 628.481 jiwa.
2. Daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia Terendah se-Banten
Sebagai indikator kualitas manusia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lebak ternyata berada di posisi paling buncit dibandingkan daerah lain se-Banten. IPM-nya pada 2019 berdasarkan data BPS hanya 63,88 pada 2019. Angka ini hanya sedikit berbeda dengan Pandeglang di angka 64,91. Namun ini menjadi timpang dibandingkan dengan Tangerang yang mencapai 71,93, Tangsel 81,48, Kota Serang 72,10, Kota Cilegon 73,01.
3. Rata-rata Lama Sekolah Hanya Sampai SMP
Pada 2019, BPS mencatat rata-rata lama sekolah penduduk Lebak di angka 6,31. Angka ini juga berada di posisi paling buncit dan hanya berbeda sedikit dengan Kabupaten Pandeglang di angka 6,96. Jika diinterpretasikan, artinya rata-rata penduduk menjalani pendidikan formal hanya enam tahun lebih beberapa bulan. Atau begitu lulus SD, masuk kelas VII SMP tapi malah putus sekolah dalam beberapa bulan.
Pada 2019, penduduk miskin di Kabupaten Lebak berdasarkan data BPS mencapai 8,30 persen atau sebanyak 107.930 orang. Setiap tahun, angka ini sebetulnya mengalami perbaikan. Di tahun 2018 ada total 108.815 dan di 2017 111.080 orang.
5. Daerah dengan Rawan Bencana
Kabupaten Lebak yang memiliki geografi perbukitan dan banyak aliran sungai dinilai menjadi daerah rawan bencana. Terakhir, pada awal tahun 2020 Lebak pernah dilanda banjir bandang dan longsor yang menghancurkan ribuan rumah rusak baik ringan dan berat.
Dan berdasarkan catatan BPS di publikasi 'Lebak dalam Angka' mencatat bahwa sepanjang 2011-2018, 28 kecamatan yang ada di sana hamper rata pernah merasakan banjir. Selain itu, untuk longsor pada 2018 hanya Kecamatan Warunggunung yang tak pernah dilanda longsor. Kecamatan paling banyak mengalami longsor di tahun itu adalah Cibeber, Muncang, Sobang, Panggarangan, Bayah dan Cirinten.