Satu keluarga di Dusun Cisasak, Desa Pajagan, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, tinggal di sebuah gubuk kecil tanpa ada penerangan lampu di dalamnya. Kondisi keluarga tersebut sangat memprihatinkan.
Dengan dinding yang terbuat dari bilik kayu ini, sepasang suami istri Rasdi (64) dan Imik (67) serta anak semata wayangnya Yana Karyana (29) tinggal di dalam ruangan yang tidak layak untuk ditempati.
Bahkan dalam satu keluarga ini, hanya Imik saja yang kondisi fisik dan kesehatan yang baik-baik saja. Sedangkan kondisi Rasdi, yang juga sebagai kepala rumah tangga, dirinya tidak dapat melihat sejak lahir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian Yana, anak semata wayangnya pun dalam kondisi fisik yang sangat mengkhawatirkan. Penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya membuat badannya menjadi kurus.
Selama hidupnya mereka hanya bisa berpindah-pindah tempat di lahan yang kosong dan tidak bertuan akibat tidak memiliki aset sendiri. Seperti halnya lahan yang ditinggali mereka saat ini merupakan lahan proyek Jalan Lingkar Jatigede.
Digubuk berukuran 5x8 meter ini, sama sekali tidak ada alat-alat rumah tangga. Di dalamnya pun hanya beralaskan tanah dan bangku untuk tidur saja. Selain itu, yang lebih memprihatinkan lagi, kelaurga ini tidak dapat menikmati cahaya di malam hari karena rumah mereka tidak teraliri aliran listrik.
Sehingga, kata Imik, selama ini dirinya hanya mengandalkan lilin untuk membantu penerangan pada malam hari. Sebab, lahan yang mereka tinggali jauh dengan warga lainnya.
"Saya sudah 4 tahun kurang lebih tinggal di sini (digubuk), karena saya enggak punya tanah dan enggak punya apa-apa," kata Imik saat ditemui di gubuknya, Rabu (4/11/2020).
Sebelum menempati gubuk yang mereka tinggali saat ini, Imik mengaku sudah berkali-kali pindah tempat tinggal. Dia mengaku selalu memanfaatkan lahan milik pemerintah saat mendirikan tempat untuk berteduh dari panas dan hujan.
"Saya kan tidak punya tanah pribadi, kalau punya, pasti sudah tinggal menetap di sini (Pajagan), gak bakal pindah-pindah lagi. Kebetulan sekarang ini tanah nganggur milik proyek (Lingkar Jatigede)," katanya.
Imik mengaku, dirinya bersama sang suami bekerja sebagai buruh serabutan, sehingga pengahasilannya tidak menentu. Untuk kebutuhan sehari-hari pun sangat sulit ia dapatkan belum lagi harus merawat anaknya yang sakit sejak dua tahun lalu.
"Kalo Pendapatan enggak tentu, apa aja dikerjakan yang penting tidak sampai meminta-minta. Kalo ada yang nyuruh ya dikerjain kalo enggak ada ya enggak ada penghasilan," ujar Imik.
Imik mengungkapkan, mendapat beberapa bantuan dari pemerintah. Mulai dari bantuan BLT dan laiinnya. Hanya saja dia tidak bisa memiliki bantuan rumah karena tidak memiliki tanah sendiri.
"Kalau bantuan paling BLT yang Rp 600 ribu, sudah dapat Rp 1.8 juta, kalau bantuan rumah belum pernah. Saya ingin punya rumah dan tanah sendiri," katanya.
Kepala Desa Pajagan Rohaetin membenarkan bahwa ada warganya yang kondisinya sangat memprihatinkan. Keluarga tersebut terpaksa harus pindah-pindah tempat karena tidak mempunyai tanah sendiri.
"Memang keadaan rumahnya (gubuk) tidak layak huni. Namun, dalam hal ini saya selaku kepala Desa Pajagaan sudah berencana untuk membangun rumah (Rasdi dan Imik), walaupun sederhana yang penting mereka bisa tinggal menetap. Rencana dengan anggaran tahun 2021," katanya.
Saat disinggung anaknya Rasdi sedang sakit TBC, Rohaetin mengaku selama ini sudah melakukan penanganan dengan cara membawa anaknya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sehingga saat ini anaknya sudah mulai membaik.
"Kami juga rutin setiap satu bulan sekali, mengontrol kesehatan anaknya ke rumahnya. Anaknya itu mengidap TBC, alhamdulillah sekarang sudah pulih," katanya.
(mso/mso)