Polemik Wacana Jawa Barat Jadi Provinsi Sunda, Sepenting Itukah Diubah?

Round-Up

Polemik Wacana Jawa Barat Jadi Provinsi Sunda, Sepenting Itukah Diubah?

Tim detikcom - detikNews
Sabtu, 17 Okt 2020 08:14 WIB
Kongres Sunda mengajukan perubahan nama provinsi Jawa Barat
Foto: Yudha Maulana
Bandung -

Wacana penggantian nama Provinsi Jabar menjadi Provinsi Sunda atau Tatar Sunda muncul setelah sejumlah tokoh Sunda menggelar Kongres Sunda yang digelar di Aula Rancage Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung, Senin (12/10) lalu. Wacana ini pun mengundang polemik.

Acara ini dihadiri sejumlah tokoh Sunda, di antaranya Memet H Hamdan, Maman Wangsaatmadja, Iwan Gunawan, Ridho Eisy, Dharmawan Harjakusumah (Acil Bimbo), Andri P Kantaprawira, Ganjar Kurnia (eks Rektor Unpad), dan Adji Esha Pangestu.

Mereka mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo berkaitan penggantian nama provinsi tersebut. Sebab, surat yang dikirimkan badan kongres kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tak mendapatkan respons yang diharapkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Perubahan Nama Provinsi Jawa Barat Menjadi Provinsi Sunda Adji Esha Pangestu, mengatakan kata 'Sunda' saat ini hanya dikenal sebagai bagian dari suku yang tinggal di wilayah Barat. Padahal, menurut garis sejarah, Sunda mencakup wilayah geografis yang besar, mencakup Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya.

"Tahun 1926 penjajah memberi nama menjadi West Java atau Jawa Barat. Saat itu Sunda diberi nama itu untuk penataan perkebunan. Itu usaha mengadu domba masyarakat yang dulu solid, baik dari etnis Jawa, China, dan India. Bersinergi kuat dan sulit dikendalikan oleh Belanda," ujar Adji.

ADVERTISEMENT

Ketua SC Kongres Sunda Andri P Kantaprawira menambahkan dengan digunakannya nama Sunda kembali, ia meyakini roh budaya dan karakter Sunda akan kembali. "Nama Jabar sekarang tidak punya spirit atau roh kebudayaan. Sunda itu toleran kok. Suku atau bangsa-bangsa yang lain tidak ada masalah. Kita akan (kirim) surat (ke) Pak Jokowi, langsung ke Jakarta," kata Andri.

Wacana ini menimbulkan reaksi beragam. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan wacana boleh saja dilontarkan namun untuk mengganti nama provinsi yang telah ditetapkan sejak tahun 1926 itu bukanlah hal yang mudah.

Sebabnya, Jawa Barat merupakan melting pot atau tempat bercampurnya tiga budaya. Pertama Sunda Priangan, Kecirebonan yang bahasanya dominan menggunakan bahasa Jawa serta Betawi dengan bahasa dan budayanya yang juga khas.

"Saya harus melihat dulu secara fundamental, karena jabar itu kalau secara judul memang bukan lagi Jawa bagian barat, Jawa paling barat kan Banten. Sudut paling barat ya bukan Jabar, tetapi Banten. Tapi Jabar itu budaya ada tiga, ada Sunda Priangan, Kecirebonan yang bahasanya Jawa dan ada Betawi," kata Kang Emil.

Menurutnya, kebijakan itu harus dipahami dan disepakati oleh warga Jabar di Cirebonan, maupun warga Jabar di daerah Betawi.

"Kalau tidak ada kesepakatan, maka hidup ini tidak akan mashlahat, jadi saya istilahnya melihat sebuah wacana, silakan, tapi masih panjang perjalanannya karena harus dipahami dan disetujui oleh pihak yang merasa berbeda, kalau itu dihadirkan," ujar Kang Emil.

Ia menjelaskan, memang sedianya Sunda itu bukan hanya etnis atau suku yang tinggal di Jawa bagian barat semata. Tetapi, Sunda merupakan wilayah geografis yang meliputi Sumatera, Kalimantan dan Jawa atau istilah lainnya Sunda Besar.

"Kemudian ada Sunda Kecil yaitu Bali, Nusa Tenggara dan lain-lain, tapi dalam perjalanan sejarahnya menjadi etnisitas, nah kesepakatan ini belum semua orang paham jadi masih panjanglah," tuturnya.

Sunda Besar dan Sunda Kecil yang dimaksud Kang Emil, ialah Lempeng Sunda yang merupakan bagian dari Lempeng Tektonik Eurasia, yang kini secara administratif meliputi Kalimantan, Jawa, Sumatera, bahkan sebagian Thailand, Filipina, Malaysia, Brunei, Singapura, Kamboja dan Vietnam.

Simak video 'Wacana Ganti Nama Jawa Barat, Ini Respons Ridwan Kamil':

[Gambas:Video 20detik]



Bagaimana pendapat kepala daerah di Pantura? Klik halaman selanjutnya

Penolakan terang-terangan disampaikan Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis. Menurutnya masyarakat Jawa Barat beragam suku. Ujung timur Jawa Barat, atau pantura Jawa Barat, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Indramayu dihuni suku Jawa, Cirebon dan lainnya.

"Saya perlu sampaikan, kita ini Indonesia. Jadi jangan mengeluarkan istilah yang bakal memicu pemisahan. Jawa Barat tetap Jawa Barat. Kalau kemudian diganti Sunda, nanti ada sebuah pemikiran yang berbeda dari (masyarakat) pantura, yang merasa tidak dianggap," kata Azis, Rabu (14/10) lalu.

Azis tak ingin masyarakat pantura merasa dikucilkan, ketika Jabar berubah menjadi Tatar Sunda. "Jadi saya tidak setuju. Nanti ada pengistimewaan terhadap kelompok tertentu yang ada di Jabar. Kemudian, Cirebon dan daerah lainnya yang berada di pantura tidak merasa sebagai orang Jabar (ketika berubah nama). Kalau Sunda, nanti kami yang di pantura apa?," Kata Azis.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan nama Provinsi Jawa Barat lebih merangkul semua etnis dan suku. Azis tak ingin perubahan provinsi memicu adanya keinginan daerah lain membuat provinsi sendiri.

"Nanti memicu keinginan jadi provinsi sendiri dan lainnya, yang belum tentu menguntungkan. Jawa Barat lebih keren, lebih nasionalis. Saya Nashrudin Azis orang Cirebon tapi tiasa (bisa) bahasa Sunda mah," jelas Azis.

Sementara itu, Pakar Budaya dan Bahasa sekaligus Ketua Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) Gugun Gunardi mengatakan, usulan perubahan nama provinsi bisa dikatakan sah-sah saja.

Namun ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan, salah satunya wilayah Ciayumaja (Cirebon, Indramayu, Majalengka) yang secara bahasa memiliki perbedaan dan diprediksi jika terjadi perubahan nama, maka Ciayumaja dan Cirebon akan keluar dari Jawa Barat.

"Tapi yang harus diingat, jika kita mengusulkan mengganti nama Provinsi Jabar menjadi Provinsi Sunda, maka prediksi saya Ciayumaja (Cirebon, Indramayu dan Majalengka) pasti keluar dari Jabar. Dari bahasa saja mereka (Ciayumaja) kan menggunakan bahasa Jawa. Apalagi Cirebon, kan kental dengan kultur Jawa. Dalam proses pendidikan bahkan bahasa ibu mereka kan menggunakan bahasa Jawa-Cirebon, atau bahasa Cirebon," kata Gugun saat dihubungi, Kamis (15/10) lalu.

Menurutnya, perubahan ini bisa saja berlaku sebatas geografis, tapi besar kemungkinan akan terjadi penyempitan wilayah kebudayaan. Gugun juga sempat menyinggung pemisahan Banten sebagai provinsi.

"Dulu juga Banten lepas dari Jawa Barat. Maka, pengubahan nama provinsi ini bisa saja memicu lepasnya daerah, misalnya Ciayumaja menjadi provinsi tersendiri," ujarnya.

Daripada mengubah nama sebuah provinsi, dia berpendapat lebih baik lagi memunculkan kembali kebudayaan di wilayah tersebut salah satunya melalui bahasa. "Sekarang, meski di Cirebon terdapat bahasa Cirebon, namun belajar bahasa Sunda. Jika diganti mungkin nanti mereka pun menuntut hak mereka untuk menjadi provinsi sendiri. Jadi, nanti Sunda semakin menyempit," tuturnya.

"Pelestarian kebudayaan Jawa Barat yang luas jangan sampai dikerdilkan oleh sebatas penggantian nama. Terkait nama juga kan masih dalam proses kajian yang masih berlanjut, misalnya, apakah benar Sunda itu nama etnis? Ini kan masih perdebatan juga. Bisa saja dulu nama agama kan. Jadi saya melihatnya dari wawasan kebudayaan saja," katanya.

Apalagi, kata dia, saat ini Jawa Barat sudah memiliki kekayaan budaya terlebih dari Cirebon. Padahal dari bahasa saja, Cirebon tidak seutuhnya menggunakan bahasa Sunda.

"Di Cirebon itu banyak kekayaan kebudayaan, misalnya terkait kesultanan. Kita punya istana kanoman, istana kasepuhan, istana kacirebonan. Nanti itu semua akhirnya bukan milih Jawa Barat. Hilang. Cirebon itu banyak menyumbang kekayaan budaya untuk jawa barat, batik, keraton, masiid. Makam Sunan Gunung Djati, sekarang itu milik Jabar," ujar Gugun.

"Jadi, saya lebih setuju dengan nama Jawa Barat. Lebih baik konsentrasi kepemeliharaan budaya saja. Memperkenalkan budaya yang ada di Jabar yang begitu banyak di kita," paparnya.

Halaman 2 dari 2
(wip/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads