Aksi unjuk rasa kecaman mahasiswa atas tindakan represif yang dilakukan kepolisian selama tiga hari menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 6-8 Oktober lalu diwarnai dengan pelemparan telur ke depan kantor Polrestabes Bandung dan aksi bakar ban di tengah jalan.
Pantauan detikcom, aksi pecah telur tersebut lantaran massa aksi tak kunjung mendapatkan respons dari pihak kepolisian atas tuntutan yang mereka sampaikan. Mereka menuntut agar polisi bertanggungjawab atas tindakan represif yang dilakukannya buntut perkara perusakan fasilitas kampus, penahanan mahasiswa, dan pemukulan petugas keamanan kampus Universitas Islam Bandung (Unisba).
Beberapa spanduk juga ditempel di depan kantor Polrestabes Bandung, sementara itu terlihat petugas berjaga dari dalam. Berdasarkan pantauan, mahasiswa melempari telur ayam sekitar pukul 17.00 WIB sebelum bergerak longmarch ke arah DPRD Jabar dan Gedung Sate.
Sementara, aksi pembakaran ban dilakukan sebelumnya saat beberapa mahasiswa secara bergantian berorasi di depan kantor Polrestabes. Terlihat juga ruas jalan utama ditutup dan berimbas pada lalu lintas yang cukup padat.
Massa demontran juga menunjukkan kekecewaannya dengan merusak salah satu spanduk yang di dalamnya terdapat potret Kapolresta Bandung, Ulung. Spanduk tersebut akhirnya dibawa massa selama longmarch.
"Pak Polisi, pak Polisi, tugasmu mengayomi. Pak Polisi jangan pukul satpam kami," teriak sejumlah massa aksi.
Juru Bicara Forum Mahasiswa Indonesia (FMI), Hariq mengatakan, aksi yang dilakukannya bersama puluhan mahasiswa tidak lain dan tidak bukan untuk menuntut keadilan atas tindakan represif pihak kepolisian.
"Kami tegas mengawal bahwa omnibus harus dicabut. Kedua kami menuntut pertanggungajawaban pihak polisi yang terlibat ketika melakukan tindakan represifitas. Lakukan sidang etik di kepolisian," kata Hariq.
Selain itu, berdasarkan inventaris yang telah mereka lakukan terkait data korban dugaan tindak kekerasan yang dilakukan aparat, terdapat sekitar 190 orang terluka. Sebagian dikabarkan dilarikan ke rumah sakit.
"192 orang akumulasi dari yang mendapatkan penganiayaan menyebabkan luka atau penangkapan. Itu semua elemen dari tiga hari aksi, ada yang dilarikan ke RS Boromeus, ada yang luka berat kondisinya sampai kritis. Kalau kisaran luka berat itu 40 persen. Kalau yang sampai dirawat itu dari Unisba ada, dari Fakultas Hukum lukanya terindikasi karena pemukulan di kepala," teranganya.
Selain itu, lanjut Hariq, sejumlah mahasiswa pun dilaporkan ditahan oleh pihak kepolisian. Namun, pihak mahasiswa hingga kini masih kesulitan mengetahui jumlah pasti untuk penanganan pendampingan secara hukum.
"Kami belum menjumlah secara jelas. Karena pihak kepolisian belum mau membuka ruang (data). Dari Unisba ada empat orang yang masih ditahan, Telkom tujuh orang. Tapi, kalau bicara validitas berapa orang lebih dari itu. Tapi kita belum benar-benar diberi tahu secara jelas berapa orang sebetulnya yang masih ditahan," katanya.
Selain mendesak adanya sidang etik dan pembebasan mahasiswa, Hariq menegaskan, kalangan mahasiswa juga menuntut pengakuan dan permohonan maaf secara terbuka dari pihak kepolisian atas kejadian di kampus Unisba.
"Bahwasanya dari kapolrestabes itu sudah melayangkan surat permohonan maaf, tapi kita datang menginginkan surat terbuka atau konferensi pers untuk permohonan maaf," pungkasnya.