Seorang istri menggugat sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Gugatan perdata dilayangkan terkait kematian suaminya yang dinilai banyak merugikan pasien. Perkara sudah masuk persidangan dan dalam proses mediasi.
Gugatan itu dilayangkan seorang ibu bernama Ira Febri Yani melalui kuasa hukumnya Yos Faizal Husni ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung sejak Mei 2020 lalu. Perkara sudah ditangani PN Bandung dan masih dalam tahap mediasi.
"Gugatan ini sudah masuk dalam proses mediasi," ucap Yos saat dikonfirmasi, Kamis (2/7/2020).
Dalam gugatannya yang juga dicantumkan di SIPP PN Bandung, Ira menggugat rumah sakit dengan gugatan materil dan immateril yang totalnya mencapai Rp 60 miliar. Selain itu, gugatan juga termasuk menyatakan perbuatan tergugat melakukan pembohongan publik, tidak memberikan informed consent kepada keluarga pasien, membuat cerita bohong dan menagihkan pembayaran yang tidak sesuai penggunaan.
"Dalam mediasi ini kita menyamakan dulu pemahaman, persepsi alasan gugatan apa. Jadi salah satu peristiwa dalam sudut pandang yang sama. Persamaan persepsi. Kedua prasangka suasangka yang buruk dihilangkan. Nah ini dalam tahap ini. Kelihatannya pihak sana merespons kalau bisa sama-sama musyawarah. Nah ini (tapi) ada beberapa hal yang belum ada titik temunya, jadi yang lain sudah sepakat untuk tidak sepakat, tapi ada beberapa hal yang belum sepakat untuk tidak sepakat," tutur Yos.
Yos menuturkan gugatan ini berawal usai suami Ira meninggal dunia di rumah sakit itu pada 16 Mei 2019. Saat itu, suaminya memang masuk rumah sakit pada tanggal 5 Mei 2019. Pada tanggal 11 Mei 2019, pihak rumah sakit mengambil tindakan biopsi atau pengambilan jaringan tubuh terhadap suami Ira yang memiliki riwayat sakit kanker.
Namun beberapa hari setelah diambil tindakan, suaminya justru meninggal dunia. Yos mengatakan Ira sempat mencari tahu penyebab kematian suaminya itu. Namun, pihak rumah sakit tidak memberikan penjelasan secara jelas.
"Karena istrinya ini tahu penyakit suaminya atau apa sehingga begitu meninggal ingin tahu kenapa sih suami dia tuh meninggalnya. Karena beredarnya itu adalah mesopase atau penyebaran kanker. Sementara istrinya tidak bisa menerima, penasaran apa sih penyebabnya. Menanyakan penyebabnya itu melalui proses. Yang jelas pihak rumah sakit tidak memberikan suatu kejelasan dan kepastian penyebab kematiannya itu apa. Nah begitu juga minta rekam medis dipersulit," kata dia.
Singkat cerita, Ira mendapatkan rekam medis tersebut. Ira berangkat ke Singapura untuk konsultasi terkait penyebab kematian suaminya dengan dokter yang pernah menangani suaminya saat dirawat di Singapura.
"Kalau dari hasil lab dan penagihan pembayarannya itu, analisa dokter sana (Singapura) tidak seperti yang digembar-gemborkan rumah sakit. Jadi kalau rumah sakit menggembar-gemborkan mesopase, kalau versi dokter Singapura adalah perdarahan yang terlambat diambil tindakan," ujarnya.
Keganjilan juga dirasakan lagi oleh Ira. Yos mengatakan jumlah tagihan rumah sakit cukup tinggi. Kliennya itu lantas menanyakan kepada dokter yang menangani suaminya di rumah sakit itu terutama soal penggunaan labu darah.
Sebab, berdasarkan tagihan, jumlah labu darah usai diambil tindakan mencapai 100 labu dalam satu hari. Total selama lima hari di rumah sakit usai diambil tindakan pada tanggal 11 Mei 2019 itu, jumlah labu yang tertera dalam tagihan mencapai 161 labu.
"Kita nanya ke dokternya bener nggak. Dokter bilang 'enggak, enggak sampai segitu kok'. Berapa benernya, 28 dia bilang. Ditulis lah sama dokternya penggunaannya pada hari itu sekian labu, jenis-jenis labu darahnya ini, ini, ini. Jadi dia teken. Kita konfirmasi lagi ke rumah sakit. Dengan segala alasan, untuk cadangan segala macem. Sehingga total penggunaan versi tagihan selama lima hari pasien itu totalnya kalau tagihan 161 labu. Yang terpakai dari keseluruhan lima hari itu ada 90 (labu). (Sisanya) ke pembayaran. Kenapa pembayaran itu, kata mereka ini cadangan. Cadangan kok dibobolin ke pasien, mereka bilang itu kebijakan manajemen. Nah kita keberatan dong. Itu dari sisi labu," tuturnya.
Selain itu, tindakan medis yang dilakukan rumah seharusnya mendapat persetujuan terlebih dahulu dari keluarga atau informed consent. Namun selama ini, keluarga tidak mendapat informasi atau permintaan dari rumah sakit.
"Begitu juga dari pengambilan tindakan ini, ini jadi kayak misalnya hasil rontgen tidak disampaikan atau diberitakan kepada keluarga, persetujuan. Jadi tindakan-tindakan tanpa persetujuan. Nah persetujuan ini adalah tanggung jawab rumah sakit, namanya informed consent. Nah ini tuh pengadaan harus dari rumah sakit. Jadi rumah sakit menagih pembayaran itu berdasarkan informed consentoncent. Ini tidak ada. Jadi kan kita tanda kutip, sudah tidak ada, terus tagihannya luar biasa," ucap dia.
Sementara itu, detikcom berusaha mengkonfirmasi hal tersebut ke kuasa hukum tergugat. Salah satu kuasa hukum tergugat Reihansyah menyebut belum mendapat persetujuan dari ketua tim kuasa hukum untuk memberi penjelasan.
"Ketua teamnya belum kasih petunjuk," katanya via pesan singkat.