Landmark Pandeglang senilai Rp 3,8 miliar di lereng Gunung Karang dipersoalkan oleh ulama setempat. Pembangunan ikon daerah ini dianggap merusak lingkungan dan ada warga yang bercocok tanam. Pemkab Pandeglang menganggap itu untuk memperkenalkan daerah dan wisata religi.
"Landmark dibangun di atas lahan Perhutani dan atas inisiasi dari Bank Rakyat Indonesia, Pemkab Pandeglang menyambut inisiasi tersebut dengan beberapa persyaratan," kata Kabag Humas Pemkab Pandeglang Tb Nandar Suptandar, Sabtu (6/6/2020).
Persyaratan antara lain bahwa pembiayaan pembangunan tidak menggunakan dana dari APBD. Kedua, bahwa pendirian landmark harus disetujui oleh Perhutani. Apalagi lahan juga milik mereka dan harus mendapatkan persetujuan warga sekitar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peletakan batu pertama tidak hanya dihadiri Bupati, BRI, Pehutani, tapi juga unsur Forkopimda dan sesepuh Abuya Muhtadi. Bahkan beliau memimpin doa," katanya.
Dibangunnya landmark memiliki tujuan memperkenalkan Pandeglang kepada masyarakat luar. Itu bisa terlihat dari jarak jauh. Pemkab juga memandang pariwisata selaras dengan norma agama atau dengan istilah wisata religi.
Sebelumnya, pembangunan ini diprotes oleh ulama Banten. Bupati diminta menyetop pembangunan landmark karena dianggap merusak lingkungan dan takut memunculkan praktik maksiat.
"Yang terhormat Bupati Pandeglang, punteun (maaf), peringatan kangge (buat) pemerintah Pandeglang, khususnya Perhutani. Mohon disetop landmark Pandeglang dan Vila Biru sebelum azab Allah SWT turun ke Pandeglang," kata Muhammad Murtadho Dimyati, pengasuh Ponpes Raduhatul Ulum, Cidahu, Pandeglang.
Tonton juga 'Netizen Dukung Susi Pudjiastuti Jadi Bupati Pandeglang':
(bri/bbn)