Seluruh masyarakat muslim dunia, begitupun Indonesia, melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Di tengah masyarakat Sunda, ada beberapa tradisi yang dilakukan dalam menyambut bulan Ramadhan.
Kepala Pusat Studi Budaya Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Teddi Muhtadin mengatakan ada beberapa tradisi yang dilakukan masyarakat untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. "Secara umum menjelang Ramadhan ini oleh orang Sunda disebut munggah atau munggahan. Ada juga papajar dan membuat masakan yang berbeda dari hari biasanya," kata Teddi kepada detikcom, Sabtu (25/4/2020).
Ia menjelaskan budaya munggahan berasal dari bahasa Sunda. Ada yang mengartikan 'sampai ke' ada juga yang menafsirkan dari kata unggah yang artinya naik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua-duanya sama, bahwa artinya sudah sampai ke bulan Ramadhan atau sudah naik bulan Ramadhan," ujar Teddi
"Yang dikerjakan biasanya beberesih dengan kuramas (keramas). Meminta maaf kepada orang lain, termasuk membersihkan tempat ibadah dan makam keluarga," ia menambahkan.
Dia menjelaskan munggahan sudah ada sejak hadirnya Islam di Tatar Sunda. Namun budaya daerah setempat juga mempengaruhi perkembangannya.
"Zaman dahulu menyambut Ramadhan ini, anak laki-laki di kampung pagi-pagi ramai pergi ke makam untuk bersih-bersih, lalu membersihkan masjid atau musala. Setelah itu keramas atau mandi besar di kolam atau sungai," tutur Teddi berdasar pengalamannya semasa dulu.
Baca juga: Serunya Tradisi Ngubyag Balong |
Berbeda dengan lelaki, anak-anak perempuan membantu ibunya memasak. Biasanya hidangan yang dibuat seperti pepes ikan mas besar, opor ayam dan sebagainya.
"Sekarang anak-anak di daerah saya tidak lagi melakukan itu. Apalagi saat pandemi Corona sekarang. Tampaknya munggahan tak semeriah dulu," kata Teddi.
Selain munggahan dan masak-masak, ada pula budaya papajar dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Hanya kesan yang kuat dalam kata papajar kebersamaan dalam makan bersama di luar, bukan di rumah.
"Tentu hal ini dimaksudkan sebagai perpisahan dengan kebiasaan makan di waktu siang," ucapnya.
Dalam kondisi sekarang saat pandemi, Teddi melanjutkan, sebaiknya kegiatan seperti papajar ini tidak dulu dilakukan. "Kita cukup makan bersama di dalam rumah bersama keluarga," ujarnya.
Secara literasi, dalam naskah-naskah Sunda lama, informasi mengenai budaya orang Sunda terutama tentang munggahan masih belum ditemukan. Selain dalam buku Haji Hasan Mustapa yang berjudul "Roesdi djeung Misnem" karya A.C. Deenik dan R. Djajadiredja yang terbit pada 1913.
"Tradisi munggahan ini kalau menurut saya adalah bagian dari upaya-upaya Islamisasi budaya Sunda yang sangat kreatif," ucap Teddi.