Sebanyak lima unit rumah di Kampung Neglajaya, Desa Tagog Apu, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), dibongkar dan dirobohkan oleh tiga unit ekskavator, Senin (24/2/2020). Rumah-rumah tersebut terdampak oleh pembangunan trase Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Pemilik rumah hanya bisa menangis dan histeris melihat bangunan rumah tersebut akhirnya rata dengan tanah. Salah seorang warga yang terdampak dan rumahnya kini sudah hancur lebur, Sumarna, mengaku eksekusi tersebut cacat hukum karena tak ada dasarnya. Ditambah eksekusi tersebut sebelumnya ditangguhkan.
"Buat keluarga saya dan warga lainnya disini, jelas eksekusi lahan ini cacat hukum. Karena saya dan warga lainnya tidak pernah berperkara di pengadilan. Sebelumnya memang ada pemberitahuan, tapi sedang dalam penangguhan, tapi kok tiba-tiba dilaksanakan," ujar Sumarna saat ditemui di lokasi eksekusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lahan miliknya seluas 185 meter persegi dengan luas bangunan 152 meter persegi dihargai Rp 2,5 miliar. Padahal menurut Sumarna, penaksiran harga tersebut dilakukan pada tahun 2017 silam.
"Kalau sekarang bisa sampai dua kali lipat, karena harga pasar terus naik. Tapi konsinyasinya ini dilakukan tanpa ada kesepakatan dan pembahasan dengan kami warga pemilik lahan dan tanah. Kalau dasar penaksiran harga itu NJOP, mana ada yang mau jual, pasti sangat jauh dari harga pasaran," tutur Sumarna.
Sebelum terjadinya eksekusi tersebut, pihak BPN dan KJPP pernah menyarankan agar mengajukan sanggahan ke instansi terkait dalam hal ini PT. PSBI jika dirasa harga penaksiran kurang sesuai, namun tidak direspon. Pihaknya masih belum bisa memastikan apakah akan menempuh jalur hukum untuk menggugat pelaksanaan eksekusi lahan itu atau justru akhirnya pasrah dan menerima.
"Pada dasarnya kami tidak menolak dan tidak ingin menghambat pembangunan. Tapi tolong pikirkan kami juga, karena ini sebetulnya sudah menzalimi kami. Bahkan sampai sekarang uang penggantian pun belum saya kantongi," tuturnya.
Panitera PN Bale Bandung Dendri Purnama mengatakan proses eksekusi yang dilakukan sudah sesuai aturan, sebab telah memenuhi tahapan mulai dari penawaran, penitipan uang ganti rugi hingga penetapan eksekusi sejak 2018 lalu. "Prosesnya itu dari 2018 dan permohonan eksekusi baru terlaksana sekarang. Untuk penaksiran harga ganti rugi, dilakukan KJPP sesuai NJOP, jadi nilai penggantian itu sesuai dengan aturan," kata Dendri.
Jika masyarakat ingin mengajukan gugatan keberatan atas penggantian, pihaknya tidak berkeberatan. "Kalau warga yang mau mengajukan keberatan atas eksekusi ini, langkah sudah sesuai aturan dan tidak menyalahi aturan. Masyarakat sebetulnya tinggal mengambil uang di pengadilan dengan persyaratan untuk dipastikan siapa yang berwenang," ujar Dendri.
Simak Video "Isu Corona, Proyek Kereta Cepat JKT-BDG Sudah 44%"