Sebelum dikenal sebagai kampung yang memiliki warga adat dan sarat akan nilai sejarah serta budaya, lebih dari 15 tahun lalu Kampung Adat Cireundeu justru dikenal sebagai kampung sampah.
Sebutan tersebut melekat lantaran kampung adat yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, ini merupakan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi. Tempat itu lebih dikenal dengan nama TPA Leuwigajah.
Sampah menggunung dan menebarkan aroma tak sedap. Namun, gunungan sampah itu menjadi lumbung penghasilan ratusan orang yang menggantungkan hidupnya menjadi pemulung, sekaligus kuburan masal bagi para pemulung yang tengah mencari nafkah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tepat pada 21 Februari 2005, di lokasi tersebut, sebanyak 157 orang tewas tertimbun oleh gunungan sampah yang diperkirakan mencapai 200 ton. Sebelum kejadian, kawasan Leuwigajah diguyur hujan hingga gas metan terakumulasi dan memicu ledakan dari gunungan sampah. Ombak sampah juga turut menenggelamkan dua kampung di dekat lokasi ledakan, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
![]() |
Lahan eks-TPA Leuwigajah, saat ini sudah rimbun oleh rerumputan dan pepohonan. Warga tak merasa trauma mendekati lahan yang berada di sisi tebing tepat di depan Gunung Gajah Langu.
Untuk mengenang arwah para pemulung dan warga yang masih berkerabat dengan warga Kampung Adat Cireundeu lainnya, Jumat (21/2/2020), para sesepuh, masyarakat, serta anak sekolah, melaksanakan ritual tabur bunga di tebing dekat lokasi ledakan sampah.
Mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala bercorak batik, rombongan mulai bergerak ke tebing yang jalannya dipenuhi rerumputan sambil menenteng bunga dan kendi air, untuk ditabur di titik longsor. "Jumlah yang meninggal itu 157 orang," ucap Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi, saat ditemui usai upacara adat.
"Kita yang masih punya kepedulian terhadap korban, saudara kami yang saat tertidur, bahkan saat itu melakukan ritual ikut tertimbun. Kita lakukan ritual tabur bunga," tutur Abah Widi menambahkan.
Abah Widi menyebutkan longsornya ribuan ton sampah itu selain karena faktor alam, juga lantaran pengelolaan sampah yang buruk. Selain itu, usut-punya usut, ada larangan adat yang dilanggar yakni kotornya mata air akibat timbunan sampah.
"Bagi kami, sirah cai (mata air) itu sumber kahirupan (kehidupan) yang sangat pantang untuk dilanggar. Apalagi dikotori oleh sampah-sampah manusia. Salah satu akibatnya ya longsor itu, karena alam menegur dengan cara yang cukup keras ketika cara halus mungkin sudah tidak diindahkan," tutur Abah Widi.
Tragedi mengerikan 15 tahun silam masih lekat juga di benak Wahyu (40), salah satu pemulung di TPA Leuwigajah, yang kini beralih profesi menjadi petani. Saat itu Wahyu masih berusia 25 tahun.
![]() |
Meski tak menyaksikan secara langsung sampah menimbun permukiman dan nyawa saudara-saudaranya, ia sangat merasakan duka yang mendalam mengingat ada 10 orang kerabat dekatnya yang menjadi korban. Termasuk mendiang ayah angkatnya, Ondo.
Waktu itu, yang selamat hanyalah istri dari almarhum Ondo, bapak angkatnya yang kebetulan saat kejadian tak berada di rumah. Namun karena mengalami trauma mendalam, beberapa hari kemudian istri dari bapak angkatnya itu tutup usia.
"Orang tua angkat saya ikut tertimbun, termasuk anak, cucu hingga cicitnya. Alhamdulillah orang tua angkat saya, termasuk anak cucunya sudah ditemukan dan dikebumikan dengan laik," ujar Wahyu.