Bencana longsor terjadi di pinggir ruas Jalan Tol Cipularang KM 118+600 yang berada di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani menyebut banyak faktor yang mengakibatkan pergerakan tanah tersebut.
"Tanah pelapukan yang tebal dan memiliki porositas dan permeabilitas tinggi, kemiringan lereng yang curam (>20Β°), sistem drainase yang tidak berfungsi (tersumbat), tata guna lahan yang berupa lahan basah (persawahan), genangan air yang berada di utara (luas 4.079m2) yang mengakibatkan munculnya mata air atau rembesan baru di badan jalan tol sebelah selatan menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah," kata Kasbani dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/2/2020).
Seperti diketahui, lokai pergerakan tanah itu terjadi di Kampung Hegarmanah RT 04 RW 04, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Pergerakan tanah terjadi di lereng badan jalan Tol Cipularang Km. 118+600B pada koordinat 06Β° 50' 2" LS - 107Β° 29' 38" BT pada ketinggian 755 mdpl yang terjadi, Selasa (11/2) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengungkapkan, kondisi daerah longsoran dulunya merupakan daerah aliran sungai dimana masih terlihat adanya morfologi cekungan dari Digital Elevation Model (DEM). Secara khusus mekanisme terjadinya gerakan tanah karena kelerengan yang curam dan banyak tekuk lereng yang merupakan jalur air, tanah pelapukan yang tebal, batuan vulkanik yang poros air, tataguna lahan berupa sawah di bagian atas dan kemiringan lereng yang curam.
"Kejadian longsor 2019 di bagian utara jalan tol menyebabkan saluran tersumbat sehingga menimbulkan terjadinya genangan air. Rembesan dari genangan air ini yang mengakibatkan meningkatnya muka air tanah dan tekanan pori sehingga tahanan lereng menjadi lemah. Hal ini membuat kondisi tanah dan batuan menjadi jenuh air yang menyebabkan bobot masanya bertambah dan kuat gesernya menurun, tanah tidak stabil dan mudah bergerak," ungkapnya
"Kondisi tanah yang jenuh air memperlihatkan mekanisme pergerakan tanah mulai bergerak pada bagian bawah yang kemudian menarik lereng bagian atasnya (lereng selatan badan jalan tol)," tambahnya.
Ia menyebut, pergerakan tanah tipe cepat dan lambat bisa saja sewaktu-waktu terjadi kembali karena bertipe longsoran aliran tanah.
"Daerah ini masih berpotensi untuk bergerak baik longsoran tipe cepat maupun longsoran tipe lambat berupa rayapan (nendatan, retakan, dan amblasan) jika tidak ada mitigasi baik non struktural maupun struktural," jelasnya.
Ia mengimbau, mengingat kondisi curah hujan yang masih tinggi dan masih adanya potensi gerakan tanah di lokasi tersebut, untuk menghindari terjadinya longsor susulan yang lebih besar dan jatuhnya korban jiwa.
Selain itu, harus ada upaya dilakukan agar pergerakan tanah tidak kembali terjadi, di antaranya, mengeringkan genangan air baik di utara dan selatan jalan tol, membersihkan dan memperbaiki saluran drainase yang tersumbat serta melakukan evaluasi gorong-gorong yang masih berada di atas lembah.
"Selama dilakukan penanganan mitigasi struktural penahan lereng perlu dilakukan pembatasan beban kendaraan di jalan tol, perbaikan dan pembuatan sistem drainase yang kedap air yang mengikuti alur air pada area pesawahan yang berada di hulu (utara) hingga bagian permukiman di hilir (selatan) dan perlu dilakukan penyelidikan geologi teknik atau geoteknik untuk proteksi lereng dengan rekayasa vegetasi atau rekayasa engineering yang bisa berupa sheetpile atau borepile," tuturnya.
Selain itu harus terus dilakukan pemantauan deformasi sebagai upaya mitigasi dini terhadap tubuh jalan tol, melakukan pemantauan terhadap retakan, rembesan air, mata air baru, mata air lama menjadi keruh, pohon/tiang yang miring, lereng yang menggembung, runtuhan batu kecil dan gejala-gejala awal terjadinya pergerakan tanah.
"Sosialisasi terhadap masyarakat dan pengguna jalan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dan kapasitas masyarakat, evaluasi penataan ruang sangat perlu dilakukan dan memperhatikan aspek bencana dan koordinasi dan himbauan untuk mengikuti arahan instansi terkait," pungkasnya.