Letak geografis Kota Banjar yang berada di perbatasan provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, telah membuat wilayah dengan empat wilayah kecamatan ini memiliki kekayaan seni budaya yang unik. Akulturasi budaya Jawa dan budaya Sunda yang terjadi di wilayah ini, telah menciptakan pola kesenian tradisional yang disesuaikan.
Pengaruh akulturasi budaya salah satunya terlihat dari pementasan seni kuda lumping yang telah "bercampur" dengan seni ebeg. Kedua seni itu, baik kuda lumping maupun ebeg, pada dasarnya memiliki kesamaan yakni berupa pertunjukan tarian dengan properti menyerupai kuda. Kuda lumping seni Sunda sementara seni ebeg adalah kesenian khas Banyumas Jawa Tengah.
Akulturasi seni kuda lumping dan ebeg ini, bisa terlihat dari sesi-sesi pertunjukan. Misalnya saat melantunkan lagu pembuka pertunjukan Ebeg, lagu yang dibawakan adalah kawih (lagu) Sunda. Selain itu saat sesi pemain memerankan adegan-adegan jenaka, mereka akan berinteraksi dengan bahasa Sunda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ketika ada orang Sunda menonton akan berkomentar mengapa pertunjukan kuda lumping di Banjar berbeda. Begitu pula jika ada orang Jawa menonton Ebeg di Kota Banjar, dia akan merasakan perbedaan," kata Hermanto, warga Parungsari Kota Banjar yang juga pelaku seni di Kota Banjar, Minggu (9/2/2020). Namun dia mengaku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, karena menurutnya pertunjukan seni itu lebih kepada bagaimana membuat para penonton terhibur. Penyesuaian dalam pertunjukan tentu bertujuan untuk memuaskan penonton yang hadir.
"Jangankan dalam berkesenian. Dalam kehidupan sehari-hari pun kerap kita saksikan dua orang tengah berkomunikasi, satu orang berbicara bahasa Sunda kemudian orang yang satunya lagi berbicara bahasa Jawa. Tapi percakapan tetap nyambung, keduanya saling mengerti. Justru itulah keunikan Banjar sebagai daerah perbatasan," kata Hermanto.
Di Kota Banjar kesenian ebeg sering ditampilkan dalam event-event tertentu, terutama kenduri atau hajatan warga. Meski intensitas pementasan belakangan ini kian minim, namun antusias masyarakat Kota banjar cukup tinggi. Kuatnya animo masyarakat juga ditunjukan dengan banyaknya penonton yang ikut menari mengikuti irama musik yang dimainkan.
Secara refleks tangan, kepala, kaki, dan anggota tubuh penonton yang lain ikut bergoyang dalam alunan harmoni musik itu. Mereka yang mengetahui tembangnya pun biasanya turut hanyut untuk ikut berdendang bersama. Hebatnya, area pementasan tidak akan ditinggalkan penonton sebelum bagian akhir dari pentas seni Ebeg ditampilkan. Sebagaimana diketahui pada bagian akhir pentas itu, para penari akan terlihat seperti kehilangan kesadaran seolah-olah kerasukan. Mereka mempertontonkan aksi yang cukup menegangkan seperti menggigit gelas, mengunyah rokok yang masih menyala atau memakan rerumputan.
"Seni Ebeg atau kuda lumping ini sebenarnya menggambarkan semangat heroisme sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasaan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan," kata Hermanto.
(mud/mud)