Kendati begitu, di antara puing-puing bisnis tersebut, masih ada Kurdi (69) yang puluhan tahun bertahan membuat kompor minyak hingga kini. Ia bertahan sendirian, walau menantang arus zaman yang serba modern.
Warga RT 01 RW 09 Desa Margajaya, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat itu membuat kompor minyak dengan peralatan yang sederhana, hanya palu dan empat alat lainnya yang masing-masing memiliki fungsi khusus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sang pemilik pabrik pun, ujar Kurdi, meninggal dunia tak lama setelah bisnisnya menyusut pascakonversi energi tersebut.
"Bisnis juga dihentikan seluruhnya karena anak dari pemilik juga tidak meneruskan usaha orang tuanya, akhirnya para pekerjanya bubar, ada yang kerja di proyek, dan saya memilih jadi pembuat kompor lagi," tuturnya.
![]() |
"Beda kalau dia, punya modal, belakangan dia bikin oven juga dan jarang membuat kompor lagi, mungkin karena pasarnya juga sepi," ujarnya.
Di gudang rumahnya, Kurdi berjibaku membuat kompor minyak selama kurang lebih 10 tahun. Ia bekerja sendiri tanpa dibantu pegawai. "Kalau mau pakai pegawai lumayan berat modalnya, untuk beli bahan-bahan kompor saja sudah pas-pasan," katanya.
Saat awal merintis usaha mandiri, Kurdi masih menerima ratusan pesanan untuk dikirimkan ke Pamanukan, Garut. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai jarang menggunakan kompor minyak.
"Sekarang hanya melayani pemesan saja, kebanyakan pedagang kaki lima seperti cuanki, dalam sehari kalau fokus bisa membuat dua atau tiga kompor, harga minyak juga kalau tidak salah sekarang Rp 16 ribu per liter," ujarnya.
Kompor-kompor tersebut ia jual dengan berbagai harga. Mulai dari 35 ribu hingga 50 ribu, tergantung ukuran dan banyaknya sumbu. "Saya sih berharap ada modal untuk membuat produk lainnya selain kompor, karena sulit bergerak juga karena tak ada modalnya," ucap Kurdi.
Barang Rongsok
Dengan menggunakan peralatan seadanya, Kurdi bisa membuat dua hingga tiga kompor perharinya. Ia biasanya menjual kompor yang terbuat dari plat besi tersebut kepada penjaja makanan keliling atau pemesan dari pasar.
Kurdi mengakui, saat ini, pasar kompor minyak sangat sepi pascakonversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji pada 2007 lalu. Ia bisa saja membuat barang lainnya, namun terbentur finansial.
"Saya terpaksa membuat kompor, karena enggak ada modal untuk membuat kuali, bahan bakunya mahal enggak terkejar," kata Kurdi.
![]() |
Kompor yang dibuat Kurdi, terbuat dari plat besi rongsokan. Ia biasa mendapatkan barang tersebut dari warga sekitar.
"Saya juga mengepul besi untuk dijual ke bandar, soalnya kalau dari kompor saja tidak akan cukup untuk sehari-hari, kalau plat besi saya beli untuk membuat kompor," katanya.
Di samping itu, Kurdi juga membantu memperbaiki perabotan rumah tangga warga yang rusak atau bocor. "Saya juga mematri kuali, dibakarnya di atas tungku, ya lumayan untuk tambah-tambah, lumayan bisa bantu warga," ucap Kurdi. (bbn/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini