Perjuangan Imas dimulai pada 2012 lalu, ketika itu anaknya yang keempat meninggal dunia saat masih balita. Kepergian anak bungsunya membuat Imas terpuruk, hingga akhirnya sang ayah menyarankannya berdagang untuk menghapus kesedihannya.
"Saat berdagang di sekolah, saya bertemu dengan tujuh anak yatim, saya dengar keluh kesah mereka dan akhirnya saya menjadi tergerak untuk membantu," kata Imas saat ditemui detikcom di pondok yatimnya di Batujajar Timur, Kamis (16/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lambat laun, jumlah anak yatim yang ia rawat terus bertambah menjadi belasan. Hatinya semakin teguh untuk menjadi ibu bagi mereka pascakematian ayahnya sendiri, sosok yang menyokongnya selama ini.
"Sampai 15 anak (yatim), bapak masih ada. Sebelum meninggal bapak bilang besok atau lusa bapak mau pulang, teruskan perjuangan kamu (Imas), bapak yakin kamu akan menemukan kebahagiaan, titip mamah sama adik kamu," kata Imas.
Penghasilan yang pas-pasan sebagai pedagang gorengan ditambah suami yang kehilangan pekerjaannya membuat perjuangan Imas semakin berat. Cobaan tak berhenti di sana, pada 2017 ia menderita strok.
"Suami juga tidak bisa bekerja jauh-jauh, karena kondisi kesehatan saya juga yang mudah kehilangan kesadaran, suami bantu berjualan sekarang," ucapnya.
![]() |
Imas memberanikan diri untuk mengontrak sebuah rumah berukuran 5x8 meter di Kp Cibungur, Batujajar Timur. Di bawah bendera Roudhatul Amanah, rumah itu dijadikan tempat bernaung anak-anak yatim yang statusnya dhuafa.
Di rumah itu pula, ia menampung sekitar 20-an anak. Sementara ratusan anak lainnya di wilayah Bandung Raya lainnya tetap ia pantau.
"Kadang saya kalau berkunjung ke rumah saudara atau teman, suka menanyakan ada anak yatim yang bisa dibantu atau tidak," ucapnya.
Tak jarang, niat baiknya malah menjadi bahan olok-olokan. "Saya malah mendapatkan cibiran, katanya Imas sering makan harta anak-anak yatim, makanya sakit-sakitan, saya pun sering dianggap tidak waras karena pas-pasan tapi ingin mengasuh anak yatim," kenangnya.
Pada 2017, ia belajar untuk membuat keset dari bahan limbah kaos kaki. Ilmu itu, ia dapatkan dari salahsatu anak yatim yang ia rawat.
"Anak itu bekerja membuat keset di kampungnya, akhirnya saya coba pelajari berikut alat untuk membuatnya," katanya.
Dalam sehari, Imas mampu membuat sepuluh keset. Satu keset, ia jual dengan harga Rp 10 ribu. Namun saat ini, ia hanya bisa membuat tiga keset perhari karena kesehatannya yang menurun.
"Kadang yang terjual hanya tiga keset perhari, kalau lagi ada orderan bisa mencapai 20 keset perhari, kita lakukan apa yang kita bisa," ujarnya.
Pada 2018 lalu, Imas sempat ingin membubarkan pondok yatimnya karena keterbatasan biaya. Ia khawatir anak-anaknya tak bisa ia rawat dengan baik, sementara Imas sendiri berjuang melawan penyakitnya.
"Anak-anak saya kumpulkan dan saya minta mereka pulang ke rumahnya masing-masing, tapi mereka tetap bersikeras untuk berjuang dengan saya," katanya.
Wejangan dari almarhumah ibunya, untuk menggantungkan nasib kepada Sang Pencipta ia yakini betul. Hampir di setiap sepertiga malam terakhir ia panjatkan doa. "Kalau menunggu kaya atau sehat dulu, kapan kita bisa berbuat untuk sesama?" katanya.
Ia teringat pernah menjual sekarung beras miliknya agar anak asuhnya bisa ikut lomba karate. "Biaya pendaftarannya saat itu Rp 200 ribu persiswa, alhamdulillah berbuah medali perak," ujarnya.
Semangat Imas dalam merawat anak yatim mengundang simpati sejumlah media massa yang melambungkan kisahnya ke publik. Bantuan pun turut berdatangan, Imas pun mulai bisa membangun pondok yatim impiannya yang nyaman.
Pembangunan pondok yang terletak di Kampung Cibungur RT 01 RW 11 Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat itu direncanakan dua tingkat. Bangunan itu akan difasilitasi ruang belajar dan musala.
"Saya berharap anak-anak itu bila menjadi orang sukses nanti, tidak melupakan kedua orang tua kandungnya, saya selalu berpesan angkatlah selalu derajat orang tuamu kepada mereka," ujarnya.
(ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini