Dari sembilan orang, empat santriwati didampingi orang tuanya kemudian melaporkan kejadian itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Tasikmalaya pada Sabtu (20/4/2019) siang.
"Iya, ada empat orang tua santriwati dari Cianjur, Karawang dan Tasikmalaya datang ke kantor kami untuk melaporkan kejadian yang menimpa anaknya. Keempat korban diduga dianiaya guru ngaji sekaligus pengaman ponpes di Tasikmalaya," ujar Ketua KPAID Tasikmalaya Ato Rinanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para korban, kata Ato, mengaku diancam dan dipukuli menggunakan kayu hingga puluhan kali. Korban akan menerima tiga kali pukulan di betis dan paha setiap tidak masuk mengaji. Korban adalah santriwati setingkat SMA yang kini duduk dibangku kelas 3.
"Gara-garanya absen mengaji. Satu kali (tidak masuk), dipukul 3 kali. Bahkan ada yang dipukul sampai 57 kali karena abses 19 kali," katanya.
Akibatnya korban mengalami lebam di bagian yang dipukul. Bahkan keempatnya sampai tidak bisa jalan selama empat hari karena mengalami pecah pembuluh darah.
Salah satu korban mengaku absen mengaji karena kelelahan usai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah umum. "Saya enggak ngaji karena kecapean ujian sama giat ekstrakurikuler," ujar korban berinisial Ku ini.
Sementara orang tua salah satu korban, Imas Sudiawati, baru mengetahui anaknya menjadi korban penganiayaan setelah bertemu usai Pemilu 2019. Saat itu anaknya pulang ke rumah dan mengeluh sakit.
"Awalnya anak saya pulang nangis saja. Anak saya jalannya kayak entog (bebek). Astagfirullah, saya sakit hati karena akan saya bukannya dididik malah disiksa," ujarnya.
Kasus ini sendiri saat ini masih didalami oleh KPAID Tasikmalaya. Sehingga KPAID belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut sebelum mendalami laporan tersebut. (tro/tro)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini