Tak tanggung-tanggung, wanita berdarah Minang - Sunda itu menorehkan namanya sebagai penerjun wanita pertama Indonesia yang terjun dan menancapkan Sang Merah Putih di puncak gunung tertinggi di dunia, Everest.
Ditemui Detikcom di Lanud Suparlan, Pusdiklatpass Kopassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Naila menceritakan pengalamannya. Ia yang bukan atlet panjat atau pendaki cukup kesulitan saat berjalan menuju Everest.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntung, ujar Naila, kondisi angin cukup mendukung saat itu. Ia pun unjuk gigi dengan terjun dengan membawa bendera Indonesia dan Kopassus.
"Dari Indonesia hanya saya. Banyak penerjun dari negara lain yang ikut serta dan sistemnya itu diseleksi, dan saya yang terpilih," ujar instruktur terjun Kopassus ini.
Pengalamannya selama delapan tahun bergelut di dunia terjun payung, membawanya menjadi instruktur terjun profesional.
Meskipun awalnya, ia hanya bekerja sebagai staf pemasaran di Aerodyne yang beroperasi di Florida Amerika.
Tak puas, ia pun menimba ilmu di USPA (United States Parachute Association) hingga akhirnya ia ditunjuk sebagai instruktur Para Dasar Kopassus, di samping menjadi instruktur di lebih dari 46 negara baik di kalangan sipil maupun militer.
Kendati telah mengantongi lisensi internasional, bukan berarti Naila bebas dari cedera. Ia pernah mengalami patah kako, patah tulang ekor dan pergelangan tangan.
"Tapi, keinginan saya yang ingin terus maju bisa melawan ketakutan itu," katanya.
Pemimpin regu penerjun Kopassus, Kolonel Inf Yudha Airlangga menggambarkan sosok Naila sebagai wanita yang tekun dan menginspirasi. Hal itu terbukti saat timnya mengikuti kejuaraan terjun payung di Solo pada 2014 lalu.
"Waktu itu kami dapar meraih dua medali, yakni emas dan perak berkat mbak Naila," kata Yudha. (ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini