"Kalau dari saya memang penting atau enggak, ya enggak penting amat kalau dibuat kayak monumen. Masih banyak yang harus dimonumenkan. Seperti para pahlawan," ucap Agil Bustomi (18) salah seorang siswa SMAN 26, saat ditemui disekitar area taman Gor Saparua, Kota Bandung, Kamis (28/2/2019).
Selain itu kata dia, pembuatan 'monumen' semacam itu haruslah memperhatikan nilai sejarah. Dengan begitu, menurutnya akan memberi nilai edukasi kepada generasi muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus ada nilai historisnya. Seperti monumen Bandung Lautan Api kan bagus bisa menjadi sarana pendidikan," ucapnya.
Pendapat berbeda disampaikan remaja lainnya Muhamad Nurhuda (18). Ia mencoba mengambil sisi positif dari niatan Ridwan Kamil membangun Dilan Corner. Menurutnya, mungkin gubernur ingin memberi pesan agar generasi muda tidak mengikuti jejak Dilan yang penuh kontroversi.
"Sosok Dilan (mungkin) jadi cerminan (generasi muda) jangan seperti dia. Dia anak motor, di sekolah kurang baik. Mungkin bisa jadi cerminan jangan seperti kayak dia," ucapnya.
Dia juga mendukung bila Dilan Corner ini akan dijadikan sebagai pojok literasi. Karena wacananya memang Ridwan Kamil akan menjadikan Dilan Corner sebagai ruang literasi sastra baik menulis dan membaca bagi siapapun.
"Literasi bisa disajikan untuk tempat membaca. (Sediakan) buku-buku untuk anak muda. Kalau nongkrong aja kan pusing. Kalau baca buku bisa mendapat inspirasi," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Menteri Pariwisata Arief Yahya dan para pemain film Dilan 1991 secara simbolis melakukan peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan Dilan Corner, di area Gor Saparua, Kota Bandung, Minggu (24/2/2019).
Emil sapaan Ridwan Kamil beralasan pembangunan Dilan Corner sebagai bentuk apresiasi terhadap keberhasilan film karya anak bangsa. Selain itu dia juga berharap Dilan Corner bisa menjadi tempat belajar sastra baik menulis dan membaca bagi siapapun.
"Sebuah tempat ajang literasi jadi film Dilan, sastra novel, terwujud jadi film. Jadi dua dimensi ini muncul masa depan yang sudut ini bisa untuk membaca novel sastra, dunia komunikasi atau menulis. Tempatnya bisa nongkrong, sejarah film Dilan lebih keren artistik," ucapnya.
Namun nampaknya keputusan Emil membuatkan 'monumen' untuk sebuah film mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Mulai dari pakar komunikasi politik, pengamat hukum tata negara hingga para budayawan mengkritik keputusan Emil tersebut.
Pasalnya mereka tidak melihat korelasi antara film Dilan dengan konteks Jawa Barat. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas film Dilan 1991, mereka menilai masih banyak tokoh lain yang lebih layak dibuatkan 'monumen' ketimbang tokoh fiktif seperti Dilan. (mso/ern)