Di beberapa desa, seperti Pangandaran, Pananjung dan Babakan, berburu kalong menjadi tradisi di kalangan remaja setempat. Perburuan kalong atau kelelawar besar ini dilakukan menggunakan layang-layang dengan tali senar yang sudah diberi rentetan kail.
Mereka umumnya menerbangkan layang-layang di daerah pantai. Praktik perburuan ini didominasi motif rekreasional. Kalong hasil tangkapan ini biasanya dikonsumsi dengan cara dibakar atau digoreng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perburuan kalong yang telah berlangsung bertahun-tahun ini terasa dampaknya hari ini. Mulai muncul kerinduan warga melihat parade kalong di langit saat keluar-masuk hutan Cagar Alam pada sore dan subuh. Tak sedikit juga wisatawan yang penasaran hilangnya kalong-kalong yang dulu menjadi hiburan mereka.
Praktik perburuan kalong ini bukannya tak mendapatkan perhatian pihak otoritas. Sejak lama, para petugas Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran, selaku pengelola Cagar Alam Pananjung, sering merazia aktivitas perburuan tersebut.
"Tapi kami seperti kucing-kucingan. Mereka (pemburu kalong) bisa berhenti ketika dirazia, lalu datang lagi di kemudian hari," ujar Uking Iskandar, petugas BKSDA Pangandaran, Rabu (20/2/2019).
"(Populasi kalong) Sangat berkurang, drastis. Dulu banyak sekali kalau sore, subuh. Sekarang jarang. Terbangnya juga tinggi menghindari layangan," tutur Uking menambahkan.
![]() |
"Selain itu, kalong ini kan bagian dari atraksi wisata. Bahkan ada beberapa turis asing yang memprotes aksi perburuan kalong itu kepada kami," tutur Uking.
AK (17), salah seorang remaja di Desa Pangandaran mengaku pernah beberapa kali ikut menjerat kalong. Menurut AK, dia hanya sebatas ikut-ikutan dan untuk kesenangan semata.
"Saya pernah ikut. Pernah nyoba tapi enggak bisa (memainkan layangan)," ucapnya.
AK tahu, perburuan kalong dilarang. Namun ia merasa larangan tersebut belum berhasil menakut-nakuti para remaja pemburu kalong. (bbn/bbn)