Tak lama setelah diresmikan, sebanyak 80 Banteng Jawa didatangkan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi taman rekreasi ini. Komunitas banteng ini masih terjaga hingga terjadinya bencana letusan Gunung Galunggung pada 1982.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Cagar Alam Pananjung Ojat Suhrojat menuturkan, semburan abu vulkanik Galunggung yang berlangsung berbulan-bulan kala itu menutupi rerumputan dan tumbuhan di padang penggembalaan banteng. Alhasil, menurut Ojat, populasi banteng menurun drastis karena kematian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petugas Cagar Alam, dia menjelaskan, saat itu berupaya untuk mencarikan pakan, termasuk dengan memberikan rumput-rumput yang telah dicuci. Namun, Ojat menambahkan, banteng-banteng itu tidak mau memakan.
![]() |
"Ada banteng namanya si Minggu. Itu dikasih nama Minggu, karena kalau hari Minggu, banyak wisatawan, dia keluar pagar. Nanti dia pulang, biasanya ada pedagang datang, ngasih tagihan, katanya dia makan pisang pedagang," tutur Ojat diikuti tawa kecil.
Sejak tahun itu, kata dia, satu persatu banteng meninggal karena faktor usia. Untuk menjaga eksistensi banteng di Cagar Alam Pananjung, Ojat menuturkan, pada 2003, pihak BKSDA mendatangkan sejumlah sapi bali yang merupakan keturunan Banteng Jawa.
Sayang, Ojat menjelaskan, perkembangbiakan sapi bali tidak cukup bagus. Sapi bali, kata dia, akhirnya juga turut punah dan tidak pernah terlihat lagi.
Ojat dan teman-teman petugas lainnya sangat mengharapkan hadirnya kembali banteng di Cagar Alam Pananjung. Namun, menurut dia, hingga kini belum terdengar program ke arah sana. (bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini