Pendiri IMA Hermawan Kartajaya mengatakan seruan untuk bersatunya zona waktu tersebut sengaja digelar di Kota Bandung dan bertepatan Hari Sumpah Pemuda karena dianggap sebagai tonggak sejarah untuk segala pergerakan di Indonesia.
Hermawan menjelaskan kajian untuk menyatukan Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan Waktu Indonesia Timur (WIT) sudah dimulai sejak 2005 dengan melibatkan sejumlah ahli. Salah satu tujuannya ialah percepatan ekonomi, khususnya untuk wilayah timur Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat dari sisi waktu, menurut Hermawan, Singapura yang sejajar dengan Indonesia atau Hongkong yang lebih timur bisa menjadi satu zona waktu sama dengan WITA. Sehingga hal itu akan menjadi rujukan agar satu zona waktu tersebut mengikuti WITA.
"Kajian ini sudah dilakukan sejak 2005 mulai dari sisi ekonomi dan lain-lain, lengkap. Kita harap dari segi politik semakin solid, sosial, kultur semakin kuat. Mudah-mudahan satu waktunya dengan Singapura dan Hongkong (WITA)," katanya.
Deklarasi diikuti oleh sejumlah unsur itu dihadiri oleh perwakilan Kantor Staf (Kastaf) Kepresidenan. Usai deklarasi, semua dokumen termasuk hasil kajian diberikan untuk dibahas menjadi suatu kebijakan.
"Mudah-mudahan ini bukan hanya didengar oleh pemerintah, tapi mendapat dukungan dari masyarakat secara keseluruhan," ujar Hermawan.
Sementara itu, perwakilan Kastaf Kepresidenan Richard Erlangga mengatakan pihaknya akan mengkaji bersama untuk menyusun langkah strategis untuk menindaklanjuti usulan tersebut. Termasuk menyusun secara teknis kalau nantinya kebijakan tersebut direalisasikan.
"Ini sudah mendapat respons positif. Bahkan Kepala Staf Kepresidenan sudah menunjuk satu orang untuk mengkaji bersama. Kita harap kajian ini bisa berdampak positif," ujar Richard.
Sekadar diketahui, saat ini ada tiga zona waktu di Indonesia yaitu WIB, WITA dan WIT. Perubahan zona waktu sudah terjadi pada awal kemerdekaan tepatnya pada 1950 dan 1963. Kemudian perubahan zona waktu Indonesia terakhir kali terjadi saat masa Presiden Soeharto pada 1987. (tro/bbn)